BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak awal terbentuknya Republik Indonesia adalah
Negara kesatuan.Sebagai negara kesatuan, maka daerah merupakan bagian yang tak
terpisahkanuntuk melaksanakan pemerintahan.Setiap daerah yang disebut daerah otonomdiberi
wewenang oleh pemerintah pusat untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Mengacu pada UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah danUU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusatdan Pemerintah Daerah maka menjadi
tanggung jawab bagi setiap daerah untukmemenuhi kebutuhan daerahnya
masing-masing. Untuk memenuhi semuapembiayaan daerah sendiri maka setiap daerah
harus dapat menghimpun dana sebesar-besarnya untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan akan berjalan baik jika didukung biaya dan sumber daya manusia yang
baik pula. Sedangkan Sumber Pendapatan Asli Daerah sesuai dengan Pasal 6 UU No.
33 Tahun 2004 adalah: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Lain-Lain Pendapatan Asli daerah yang Sah.
Berdasarkan sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut di atas yang paling potensial
dan memberi masukan terbesar pada kas daerah adalah pajak danretribusi daerah. Retribusi
daerah pada dasarnya dikelola sendiri oleh setiap daerah,maksudnya untuk
pengelolaan retribusi daerah ini antara daerah yang satu dan daerah yang lain
berbeda-beda. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun2001 tentang
Retribusi Daerah, salah satu pungutan retribusi daerah adalah retribusi pasar. Penerimaan
retribusi pasar di daerah mempunyai peranan yang cukup besar dalam menunjang
penerimaan pendapatan asli daerah (PAD).
Pembangunan di
Indonesia masih terus dilaksanakan walaupun sekarang ini keadaan Negara yang
kurang stabil. Pembangunan ini meliputi segala bidang aspek kehidupan, yang
pada hakekatnya menciptakan suatu Masyarakat yang adil dan makmur bagi bangsa
Indonesia. Upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat agar semakin adil dan merata
harus terus ditingkatkan, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan melalui upaya
nyata dalam bentuk perbaikan pendapatan dan peningkatan daya beli Masyarakat.
Pembangunan yang berhasil dirasakan oleh rakyat sebagai perbaikan tingkat taraf
hidup pada segenap golongan Masyarakat akan meningkatkan kesadaran mereka akan
arti penting pembangunan dan mendorong Masyarakat berperan aktif dalam
pembangunan.
Dalam UU No. 34
Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan
ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi
Daerah dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, juga
menetapkan pengaturan yang cukup rinci untuk menjamin prosedur umum perpajakan
dan Retribusi Daerah. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai subsistem
Pemerintah Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan Masyarakat sebagai Daerah Otonomi.
Dalam rangka
mengoptimalisasikan Pendapatan Asli Daerah, tiap Kabupaten/kota di Indonesia
juga menjadikan sektor Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai sumber
keuangan yang paling diandalkan. Sektor Pajak Daerah tersebut meliputi Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan,
Pajak Pengambilan Dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C serta Retribusi Daerah
yang terdiri: Retribusi Jasa Umum antara lain Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan
Persampahan, Jasa Usaha dan Retribusi Perijinan tertentu merupakan sektor yang
sangat besar untuk digali dan diperluas pengelolaannya.
Salah satu
problema yang dihadapi oleh sebagian Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia dewasa
ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan
birokrat di Daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan
kemandirian suatu Daerah di era Otonomi adalah terletak pada besarnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Realitas
mengenai rendahnya PAD di sejumlah Daerah pada masa lalu, akhirnya
mengkondisikan Daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada bantuan
pembiayaan atau subsidi dana dari Pemerintah Pusat. Rendahnya konstribusi
pendapatan asli Daerah terhadap pembiayaan Daerah, karena Daerah hanya
diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana Pajak dan retribusi yang mampu
memenuhi hanya sekitar 20%-30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan
rutin dan pembangunan, sementara 70% 80% didrop dari pusat. Selain karena
persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana Pajak dan
retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam
bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi Daerah untuk memungut
Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi
Daerah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana fungsi Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66
Tahun 2001 tentang Retribusi daerah.?
2.
Hambatan apa dihadapi dalam fungsi Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
66 Tahun 2001 tentang Retribusi.? daerah
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan sebagaimana
permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah untuk :
1. Mengetahui
fungsi Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
2. Mengetahui
dan menganalisa hambatan-hambatan terhadap fungsi Retribusi Daerah Dalam
Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD
BAB
II
LANDASAN TEORI
A.
Teori
Kebijakan
Kebijakan Publik
adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan
yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi
Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi
suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang
dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam
memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut
adalah information failures, complex side effects, motivation failures,
rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002)
Berdasarkan
stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu
kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis
operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan
publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan
kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn
(1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses
kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai
proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang
saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c)
adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan.
Sedangkan menurut Anderson (1975)
Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan
badan dan pejabat - pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan
tersebut adalah :
1.
Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan
tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2.
Kebijakan publik berisi
tindakan-tindakan pemerintah.
3.
Kebijakan publik merupakan apa yang
benar-benar dilakukan oleh
pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
dilakukan.
pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
dilakukan.
4.
Kebijakan publik yang diambil bisa
bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu.
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu.
5.
Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya
dalam arti yang positif didasarkan
pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
B.
Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
Pendapatan
Asli Daerah (PAD) merupakan sumberdaya terbesar Penerimaan di seuruh daerah di
Indonesia dan salah satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya
secara berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai tentunya komponen yang
berkaitan dengan itu harus ditindak lanjuti. Misalnya dengan memberikan
pelayanan yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat
sehingga masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.
Otonomi
telah merubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan di daerah dimana kekuasaan
yang bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik dengan memberikan
otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan kebijakan pengaturan pemerintahan daerah
tersebut diselaraskan dengan adanya perubahan kebijakan terhadap pajak dan
retribusi daerah sebagai landasan bagi daerah dalam menggali potensi pendapatan
daerah khususnya pendapatan asli daerah, yakni Undang-undang Nomor 18 Tahun
1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kemudian dirubah dengan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18
Tahun 1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perubahan berbagai
kebijakan nasional sebagaimana dimaksud membawa harapan besar bagi daerah untuk
membangun daerahnya dengan menggali potensi daerahnya masing-masing sebagai
sumber pendapatan daerah, khususnya pendapatan asli daerah. Harapan dari daerah
tersebut merupakan hal yang wajar, karena diberikannya berbagai urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya dibarengi dengan muatan kewenangan
untuk mengurus keuangannya secara otonom dalam membiayai penyelenggaraan
otonomi, baik dalam menggali sumber-sumber keuangan, pemanfaatannya serta
pertanggung jawabannya (Ridho,2011).
Pendapatan
Asli Daerah dapat diartikan sebagai pendapatan yang bersumber dari
pungutan-pungutan yang dilaksanakan oleh daerah berdasarkan peraturan-peraturan
yang berlaku yang dapat dikenakan kepada setiap orang atau badan usaha baik
milik pemerintah maupun swasta, karena perolehan jasa yang diberikan pemerintah
daerah tersebut maka daerah dapat melaksanakan pungutan dalam bentuk penerimaan
pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
lain-lain PAD yang sah yang diatur dalam undang-undang.
Pembangunan
ekonomi suatu daerah membutuhkan sejumlah dana yang diperoleh atau berasal dari
berbagai sumber yang dikelola oleh daerah. Dalam otonomi daerah pembangunan
ekonomi suatu daerah dilakukan berdasarkan kemampuan pendapatan daerah, karena
hak atas pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah dan pembangunan ekonomi di
daerah telah diserahkan secara otonom kepada Pemerintah Daerah yaitu pemerintah
Kabupaten dan Kota.
1.
Pajak
Daerah
Pajak adalah bentuk pendapatan daerah yang
ditentukan oleh undang-undang sebagai kewajiban masyarakat yang dibayarkan
kepada pemerintah secara periodik, yaitu setiap tahun. Menurut Undang-undang
No.34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak
daerah adalah : Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Jenis
pajak daerah yang dipungut provinsi yaitu : (1) pajak kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air (PKB-KAA), (2) bea balik nama kendaraan bermotor
(BBNKB-KAA), (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), (4) pajak
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan (P3ABT dan AP).
Demi
rasa keadilan dan asas pemerataan maka undang-undang mengatur Bagi Hasil Pajak
dan Realokasi Pajak daerah provinsi dengan daerah kabupaten/kota. Pajak
provinsi yang bersumberdari PKB-KAA, BBNKB-KAA, PBBKB dan P3ABT dan AT sebagian
diserahkan kepada Kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut : (1) minimum
30% dari penerimaan PKB-KAA dan BBN-KAA, (2) minimum 70% dari penerimaan
PBB-KB, (3) minimum 70% dari penerimaan P3ABT dan AP.
Pengalihan
bagian penerimaan pajak daerah provinsi tersebut lebih lanjut diatur dan
ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi dengan memperhatikan aspek
pemerataan dan potensi antar daerah kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan. Sedangkan penggunaan bagian daerah kabupaten/kota diatur dan ditetapkan
oleh daerah itu sendiri.
2.
Retribusi
Retribusi
merupakan pungutan resmi yang diatur dengan undang-undang terhadap sejumlah
kegiatan atau obyek yang terdapat disuatu daerah. Retribusi ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan
mempertimbangkan prinsip dan sasaran penetapan tarif. Hasil penerimaan hasil
retribusi tertentu kabupaten, sebagian diperuntukkan kepada desa. Penetapannya
diatur dengan Perda Kabupaten dengan memperhatikan aspek keterlibatan desa dalam
penyediaan layanan tersebut.
Menurut
Undang-undang nomor 34 Tahun 2000 retribusi adalah : Pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
Retribusi terdiri
dari retribusi pelayanan kesehatan, retribusi catatan sipil, retribusi sampah,
retribusi parkir, retribusi pasar, retribusi terminal, retribusi rumah potong
hewan dan lain-lain.
3.
Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Bagi
daerah yang memiliki BUMD seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank
Pembangunan Daerah (BPD), Badan Kredit Kecamatan, pasar, tempat
hiburan/rekreasi, villa, pesanggrahan, dan lain-lain keuntungannya merupakan
penghasilan bagi daerah yang bersangkutan.
4.
Lain-lain PAD
yang Sah
Lain-lain
PAD yang sah meliputi : Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan,
Jasa giro, Pendapatan bunga, Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, Komisi/potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan berang dan/atau jasa oleh daerah.
Selanjutnya
diantara komponen Pendapatan Asli Daerah, perlu dicermati komponen pajak daerah
dan retribusi daerah aspek yuridis yang berimplikasi terhadap peranannya dalam
memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Kajian yuridis
landasan pajak daerah dan retribusi daerah harus ditetapkan dalam sebuah
undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 158 UU No.32/2004 : ”Pajak
daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya
di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah”.
5.
Keuangan Daerah
Salah satu
kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengatur
dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Sehubungan dengan
pentingnya posisi keuangan ini, Pamudji menegaskan:“Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan
fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan
pelayanan dan pembangunan… Dan keuangan inilah yang merupakan salah
satudasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam
mengurus rumah tangganya sendiri”.
Untuk dapat
memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya Daerah membutuhkan sumber
keuangan yang cukup pula. Dalam hal ini Daerah dapat memperolehnya
melalui beberapa cara, yakni: Pertama
: mengumpulkan dana dari Pajak Daerah yang sudah direstui oleh Pemerintah
Pusat; Kedua : melakukan
pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau bank atau melalui Pemerintah
Pusat; Ketiga : mengambil
bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut Daerah, misalnya
sekian persen dari pendapatan sentralnya tersebut; Keempat : menambahkan tarif pajak
sentral tertentu, misalnya pajak kekayaan atau pajak pendapatan; Kelima : menerima bantuan atau subsidi
dari pemerintah pusat.
Dari ketentuan
tersebut di atas maka pendapatan Daerah dapat dibedakan ke dalam dua
jenis yaitu: pendapatan asli Daerah dan pendapatan non-asli Daerah.
Sampai dengan saat ini, sumber-sumber pendapatan asli Daerah terdiri
dari: Pajak Daerah, Rochmad Sumitro mengemukakan bahwa “Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara
(peralihan kekayaan darisektor partikelir ke sektor Pemerintahan) berdasarkan
undang–undang(dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapatkan jasa timbal
(tegen presttie) untuk membiayai pengeluaran umum (publike uitgaven), dan
yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan
yang ada di luar bidang keuangan.”
Dari pendapat
terdapat tersebut di atas terlihat bahwa ciri mendasar
pajak adalah:
pajak adalah:
a. Pajak
dipungut oleh negara berdasarkan kekuatan dan/atau peraturan hukum dan
lainnya.;
b. Pajak
dipungut tanpa adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk;
c. Hasil
pungutan pajak digunakan untuk menutup pengeluaran negara dan sisanya apabila
masih ada digunakan untuk investasi;
d. Pajak
disamping sebagai sumber keuangan negara (bugetair), juga berfungsi sebagai pengatur ( regulair).
Sumber
pendapatan Daerah yang penting lainnya adalah retribusi Daerah.
Pengertian retribusi secara umum adalah “pembayaran-pembayaran kepada Negara
yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa–jasa negara”.
Dari pendapat-pendapat di atas
telihat bahwa ciri mendasar dari retribusi adalah:
Retribusi dipungut oleh negara;
Dalam pemungutan terdapat paksaan
secara ekonomis;
Adanya kontra prestasi yang secara
langsung dapat ditunjuk;
Retribusi dikenakan pada setiap
orang/badan yang menggunakan jasa-jasa yang disiapkan negara.
6.
Pertimbangan dalam Pungutan
Retribusi
Pungutan
retribusi langsung atau konsumen dalam praktekknya biasanya dikenakan karena
satu atau lebih dari pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a. Apakah
pelayanan tersebut merupakan barang-barang publik atau privat, mungkin
pelayanan tersebut dapat disediakan kepada setiap orang.
b. Suatu
jasa yang melibatkan suatu sumber daya yang langka atau mahal dan
perlunya disiplin Masyarakat dalam mengkonsumsinya.
c. Ada
beberapa jenis konsumsi yang dinikmati oleh individu bukan karena kebutuhan
pokok sehingga lebih merupakan pilihan daripada keperluan.
d.
Jasa-jasa dapat digunakan untuk
kegiatan-kegiatan mencari keuntungan disamping memuaskan kebutuhan-kebutuhan
individual di kantor pos, telepon seluruhnya digunakan secara luas oleh
industri.
7.
Tingkat Pengenaan Retribusi
Secara garis
besar ada beberapa tingkatan pengenaan retribusi yang digunakan oleh Pemerintah
terhadap Masyarakat, yaitu retribusi atas jasa-jasa pelayanan umum atas
pemakaian langsung (pelayanan secara keseluruhan), retribusi untuk jasa-jasa
pelayanan umum yang membutuhkan tingkat pengembalian biaya langsung (direct cost) yang berbeda, dan
retribusi berdasar kewenangan tertentu Pemerintah Daerah atas penerimaan
retribusi tersebut.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Pengaturan Retribusi Daerah Dari Tahun
1997 – 2009
Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, bahwa pengaturan terkait retribusi daerah mulai ada sejak tahun
1997, melalui UU No. 18 Tahun 1997 pemerintah memberi peluang pada daerah untuk
melakukan pungutan retribusi guna pembiayaan pembangunan daerah itu sendiri.
Sebagaimana ditegaskan oleh UU No.
18 Tahun 1997 pada bagian konsiderannya menyebutkan tujuan retribusi daerah
sebagai “sumber pendapatan daerah untuk membiayaan penyelenggaraan
pemerintahaan daerah dan pembangunan daerah untuk menetapkan otonomi daerah
yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab dengan titik berat pada
Daerah Tingkat II.”[14] Dari tujuan tersebut, jelas tergambar bahwa retribusi
dikhususkan untuk membiayaan daerah tingkat II, atau kabupaten / kota.
Pungutan terhadap pajak dan
retribusi daerah bersifat memaksa dan dapat dipaksakan. Hal tersebut ditegaskan
oleh UUD 1945 dalam Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Norma
yang demikian mempunyai makna bahwa segala sesuatu pungutan yang menjadi beban
rakyat harus sepengetahuan rakyat melalui representasinya di lembaga perwakilan
rakyat. Persoalan pajak dan retribusi daerah masuk dalam lingkup konstitusional
yang dimaksud di atas, sehingga perlu ada pengaturan umum tentang pajak dan
retribusi daerah ke dalam undang-undang. Undang-undang sebagaimana dimaksud
Pasal 23A tersebut, dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan[15]. Dengan demikian, berlaku asas hirarkies dalam peraturan
perundang-undangan, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Untuk itu, pengaturan mengenai
retribusi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, tidak bisa hanya
diatur berdasarkan peraturan menteri atau keputusan Presiden. Untuk pengaturan
pajak dan retribusi daerah sebagaimana telah disebut seblumnya, diatur dalam UU
No. 18 Tahun 1997, diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000, dan terakhir digantikan
oleh UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
UU No. 28 Tahun 2009 tersebut yang
menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pungutan Pajak dan
Retribusi Daerah. UU Pajak dan Retribusi Daerah tersebut telah merinci
jenis-jenis pajak dan retribusi yang menjadi kewenagan pemerintah provinsi,
kabupaten atau kota. Pembagian tersebut, juga didasarkan pada pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berikut perbandingan jenis pajak dan
retribusi daerah, berdasarkan regulasi yang mengaturnya:
Tabel 1: Jenis Pajak Daerah
Berdsarkan UU Keberlakuannya.
|
Jenis Pajak dan Retribusi Daerah
|
UU No. 18/1997
|
UU No. 34/2000
|
UU No. 28/2009
|
|
|
Pajak Daerah Provinsi
|
||||
|
Pajak Kendaraan Bermotor
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Bea Balik Nama Kendaraan
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan
|
–
|
√
|
–
|
|
|
Pajak Air Permukaan
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Pajak Rokok
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Pajak Daerah Kabupaten/Kota
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Hotel dan Restoran
|
√
|
√
|
–
|
|
|
Pajak Hiburan
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Reklame
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Penerangan Jalan
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Pengambilan dan Pengolahan
Bahan Galian Golongan C
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan
|
√
|
–
|
–
|
|
|
Pajak Parkir
|
–
|
√
|
√
|
|
|
Pajak Hotel
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Pajak Restoran
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Pajak Air Tanah
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Pajak Mineral Bukan Logam
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Pajak Sarang Burung Walet
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
|
–
|
–
|
√
|
|
|
Sumber : Data Olahan Dari UU No.
18/1997, UU No. 34/2000, UU No. 28/2009[16]
|
||||
Tabel 2 : Jenis Retribusi Daerah
Berdasarkan UU Keberlakuannya.
|
Jenis Retribusi Daerah
|
UU No. 18/1997
|
UU No. 34/2000
|
UU No. 28/2009
|
|
|
Retribusi Jasa Umum;
|
√
|
√
|
√*
|
|
|
Retribusi Jasa Usaha
|
√
|
√
|
√*
|
|
|
Retribusi Perizinan Tertentu
|
√
|
√
|
√*
|
|
|
Sumber : Data Olahan Dari UU No.
18/1997, UU No. 34/2000, UU No. 28/2009
|
||||
Dari
ketiga undang-undang tersebut, UU No. 28 Tahun 2009 lah yang merinci
macam-macam retribusi. Klasifikasi retribusi daerah terdiri atas 3 golongan,
yaitu:
1. Retribusi Jasa Umum,
yaitu
retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah
(pemda) untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati
oleh orang pribadi atau badan;
2. Retribusi Jasa Usaha,
yaitu
retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan menganut prinsip
komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta; dan
3. Retribusi Perizinan Tertentu,
yaitu
retribusi atas kegiatan tertentu pemda dalam rangka pemberian izin kepada orang
pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian,
dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan
B.
Optimalisasi Retribusi
Daerah
Ciri utama yang
menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan
keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan
untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan
keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal
mungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian
sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Berkaitan dengan hal
tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek
dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat
segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau
sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi
informasi. Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau obyek
pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpa harus
melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi,
proses dan waktu yang panjang.
Menurut Machfud
Sidik dukungan teknologi informasi secara terpadu mutlak diperlukan sebagai
upaya mengintensifkan pajak karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan
selama ini cenderung tidak optimal. Lebih lanjut Machfud menegaskan bahwa
masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan yang masih
konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar
kemungkinan informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda
dan data tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak
cukup banyak, misalnya : baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan
jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak
optimal.
Retribusi daerah
berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 memiliki kontribusi yang besar terahdap daerah.
Oleh sebab itu retribusi daerah harus dimaksimalkan. Apabila dilihat dari
komponen retribusi daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 terdiri dari 3
bentuk retribusi yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi
Perizinan Tertentu dengan total 30 jenis retribusi. Di samping 30 jenis
retribusi tersbut, UU No. 28 Tahun 2009 juga membuka peluang bagi daerah untuk
menentukan jenis retribusi lainnya dengan beberapa kriteria yang ditentukan.
Dengan demikian ketika daerah ingin melakukan pungutan atau retribusi selain
yang telah disebutkan secara tegas dalam UU No. 28 Tahun 2009, daerah juga bisa
melakukan pungutan retribusi lain dengan syarat memenuhi kriteria yang
ditentukan UU No. 28 Tahun 2009. Dibukanya kesempatan bagi daerah untuk
melakukan pungutan retribusi selain yang telah ditentukan oleh undang-undang
merupakan hal positif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa di negara monderen yang
menganut paham welfare state akan
sulit membatasi lingkup kewenangan daerah, hal tersebut disebabkan perkembangan
yang terjadi dalam masyarkat, sehingga menjadikan pemerintahan semakin dinamis.
Dengan demikian
tentunya menuntut suatu kehadiran regulasi yang dinamis pula. Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, dan RTI
terlihat bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan
penggalian dan peningkatan PAD, beberapa diantaranya :
- Relatif
rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
Berdasarkan
UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota
dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat
kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak
daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi,
diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas,
serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara
daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi
krisis ekonomi.
- Perannya
yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian
besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Darisegi upaya
pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi inimengurangi “usaha” daerah
dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah
terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
- Kemampuan
administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal
ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut
yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat yang rendah. Salah satu
sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai
akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun
dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah
dapat melampaui target yang ditetapkan.
- Kemampuan
perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal
ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
Meminjam
pendapat Machmud Sidik, secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakukan
Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui
optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi daerah,
diantaranya:[32]
- Memperluas basis
penerimaan
Tindakan yang
dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah,
yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu
mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak,
memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas
penerimaan dari setiap jenis pungutan.
- Memperkuat proses
pemungutan
Upaya yang dilakukan
dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercepat penyusunan
Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
- Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat
ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan
berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak
pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan
pelayanan yang diberikan oleh daerah.
- Meningkatkan efisiensi
administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang
dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak
melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan
dari setiap jenis pemungutan.
- Meningkatkan kapasitas
penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
Menurut Frenadin Adegustara, ada
beberapa pola dan strategi yang bisa dilakukan dalam meningkatkan PAD terutama
terhadap pajak dan retribusi daerah adalah :
1. Penyederhanaan
sistem dan prosedur pajak dan retribusi daerah
·
Harus ada pelayanan prima, dalam artian
waktu dan tempat harus jelas serta sikap yang ramah dari petugas pajak itu
sendiri. Untuk tahap awal bisa dibentuk seperti KP2T untuk pajak dan retribusi
daerah, dimana masyarakat hanya pergi ke satu tempat untuk melakukan
pembayaran.
·
Karena sistem tersebut belum efektif
maka pemerintah daerah dapat melakukan sistem jemput bola dimana pajak tersebut
langsung dijemput oleh petugas pajak.
2.
Peningkatan pengawasan terhadap
penerimaan pajak baik terhadap wajib pajak maupun petugas pajak. Untuk wajib
pajak harus ada kontrol dari pemerintah daerah terhadap nota penjualan.
Sedangkan untuk petugas harus ada peningkatan WASKAT (pengawasan melekat) dari
atasan kepada bawahan. Bagi retribusi yang instansinya menggunakan karcis
dilakukan dengan cara stop opname karcis
agar jelas antara penerimaan dan pengeluaran pada akhir tahun.
3. Membenahi
peraturan-peraturan daerah terkait dengan berbagai jenis pungutan pajak maupun
retribusi.
4. Perlu
meminta masukan yang kepada masyarakat dalam pembuatan peraturan daerah
khususnya pajak daerah dan retribusi daerah agar masyarakat tidak terbebani.
5. Peningkatan
SDM, dalam hal ini bisa berupa pemberian pelatihan bagi petugas pajak
(pembinaan tersebut dilakukan oleh atasan).
C.
Pengelolaan Pendapatan Daerah
beserta Implikasinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan
Daerah dalam struktur APBD masih merupakan elemen yang cukup penting Fungsinya
baik untuk mendukung penyelenggaraan Pemerintahan maupun pemberian pelayanan
kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan, maka pendapatan Daerah
masih merupakan alternatif pilihan utama dalam mendukung program dan kegiatan
penyelenggaraan Pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten/Kota di
Indonesia.
Formulasi kebijakan
dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan Daerah akan lebih difokuskan
pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli Daerah, dana perimbangan dan
penerimaan Daerah lainnya. Kebijakan pendapatan Daerah Kabupaten/Kota di
Indonesia tahun 2006-2010 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata
sekitar kurang lebih 10 % dan pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh adanya
pertumbuhan pada komponen PAD dan komponen Dana Perimbangan.
Adapun
alternatif sumber-sumber penerimaan Daerah Kabupaten Bengkalis untuk masa
mendatang, antara lain berasal dari:
1. Intensifikasi
dan Ekstensikikasi PAD
Dalam lima tahun
mendatang, kemampuan keuangan Daerah Kabupaten /Kabupaten di seluruh Indonesia
akan ditingkatkan dengan mengandalkan pada Kebijakan intensifikasi dan
ekstensifikasi pemungutan retribusi dan Pajak Daerah. Namun demikian, kekuatan
pembaharuan yang diajukan sebagai strategi barunya adalah pada
aksentuasi manajemen pengelolaan dan audit kinerjanya.
2. Pengembangan
Kerjasama dalam Menggali PAD
Dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pembiayaan penyelenggaraan
Pemerintahan dan pembangunan di Daerah, akan dikembangkan strategi baru yang
tidak semata berorientasi pada intensifikasi maupun ekstensifikasi retribusi
dan Pajak Daerah.
3. Pembentukan
Perseroan Daerah
Strategi ketiga
pengembangan kemampuan keuangan Daerah ialah dilakukan dengan memformulasikan
regulasi-regulasi ekonomi baru terutama mengarah pada pembentukan berbagai
perseroan Daerah serta merevitalisasi badan usaha Daerah yang sudah ada.
4. Penerbitan
Obligasi dan Pinjaman Daerah
Disamping
strategi konvensional pemungutan retribusi dan Pajak Daerah, kemampuan keuangan
Daerah akan dikembangkan melalui bursa obligasi Daerah (Municipal Bond).
5. Kebijakan Umum
Anggaran
Kebijakan umum
penganggaran yang dicanangkan Pemerintah derah untuk lima tahun ke depan
ditujukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem penganggaran
Daerah sesuai dengan Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Retribusi Daerah mempunyai Fungsi yang sangat
penting terhadap Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten
Bengkalis.Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan Fungsi Retribusi
Daerah yaitu masih kurangnya kesadaran wajib retribusi dalam memenuhi
kewajibannya dalam membayar Retribusi Daerah, adanya penyimpangan dari petugas
penarik retribusi yaitu tidak memberikan karcis sebagai bukti pembayaran
retribusi yang dipungut, serta hambatan keadaan perekonomian bangasa Indonesia yang
tidak stabil dari tahun ke tahun.
Bahwa
retribusi daerah, memiliki peran besar dalam mendukung dan menyukseskan
terselenggaranya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan ketika diterapkannya
otonomi daerah, desentralisasi dalam artian pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak hanya sebata penyelenggaraan
pemerintahan. Tapi lebih dari itu, yang tak kalah penting adalah desentralisasi
fiskal. Karena dengan adanya otonomi daerah, berarti akan ada biaya untuk itu,
maka dengan desentralisasi fiskal lah salah satu bentuk yang akan mengisi
kebutuhan anggaran tersebut. Retribusi sebagai salah satu sumber PAD menurut UU
No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 33 Tahun 2004 dibeberapa daerah
telah terbukti memberi pemasukan terbesar untuk PAD bahakan melebihi pemasukan
yang berasal dari pajak daerah.
Terkait
pengaturan retribusi daerah dari tahun 1997 hingga tahun 2009 telah diatur
dalam tiga undang-undang, sebagai dasar bagi daerah untuk melakukan pengutan
terahadap pajak daerah dan retribusi daerah. Tiga undang-undang tersebut,
antaralain UU No. 18 Tahun 1997 yang dirubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan
pada tahun 2009 kedua undang-undang tersebut dicabut dan digantikan oleh UU No.
28 Tahun 2009. Terdapat beberapa perbedaan diantara tiga undang-undang tersebut
dalam mengatur masalah retribusi daerah. Salah satu perbedaanya pada UU No. 28
Tahun 2009 dari tiga jenis pungutan retribusi, terdapat 30 bentuk retribusi.
Sedangkan pada UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 18 Tahun 1997 dari tiga jenis
retribusi ada 28 bentuk retribusi daerah yang dapat diterapkan. Selain itu, UU
No. 28 Tahun 2009 juga menrubah sistem hubungan pengawasan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal pengawasan Peraturan Daerah (Perda)
terkait Pajak dan Retribusi. Dimana pada UU No. 28 Tahun 2009, terhadap
Rancangan Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi daerah dinilai oleh
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan ketika masih berbentuk rancangan, dan
ketika dari rancangan tersebut perlu disesuaikan atau diganti atau bahkan
ditolak oleh menteri maka terhadap rancangan tersebut masih bisa diperbaiki
oleh pembentuk Perda. Dan sebagai upaya represif terhadap perda yang kemudian
disahkan oleh pembentuk Perda, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda
tersebut, dan apabila Pemerintah Daerah keberatan dapat mengajukan upaya hukum
keberatan kepada Mahkamah Agug. Hal seperti itu, yang tidak diatur oleh UU No.
34 Tahun 2000 maupun oleh UU No. 18 Tahun 1997. Dimana Pemerintah Pusat hanya
memiliki peran represif terhadap Perda yang telah dibentuk. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 telah mendungkung
pemaksimalan retribusi sebagai sumber pendanaan otonomi daerah. Walaupun dari
UU No. 28 Tahun 2009 tersebut masih terdapat berbagai kelemahan, tentunya hal
tersebut kedepan bisa diperbaiki.
B. Saran-Saran
Bagi pembayar Retribusi (pedagang), hendaknya selalu
membayar retribusi pelayanan pasar, karena retribusi tersebut pada dasarnya
akan dimanfaatkan oleh pembayar Retribusi (pedagang) sendiri, yaitu sebagai
dana untuk memperbaiki fasilitas pasar yang rusak.
Bagi petugas, hendaknya pungutan dilakukan secara
tepat artinya dilakukan dengan prosedur yang benar, sehingga tidak menimbulkan kebocoran
pemasukan. Langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
kesadaran untuk menarik retribusi dengan selalu memberikan tanda bukti
pembayaran, serta melaporkan secara jujur perolehan retribusinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bohari, Pengantar Hukum Retribusi, Edisi Pertama,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Erly
Suandy, Peretribusian, Jakarta
: Salemba Empat, 2002.
Gunadi, Retribusi Daerah, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, 1997
———, PerRetribusian Jilid I, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, 1997
Kaho,
Josef Riwu. 1995. Prospek Otonomi
Daerah di Negara Republik
Indonesia:
Koswara,
E. 2001. Otonomi Daerah: Untuk
Demokrasi dan Kemandirian
Rakyat. Jakarta: Yayasan Pariba.
Shah,
Anwar. 1991. “Perspective on The Design of Intergovernmental Fiscal
Relation”. The PRE Working Paper Series No. 726. 1991. Washington
D.C.: The World Bank. Hlm. 24-26.
Mansury, Retribusi Penghasilan Lanjutan,
Ind-Hill-Co, Jakarta, 1996
Muqadam,
PerRetribusian Buku I: Dasar-dasar
hukum Retribusi, pembaharuan perRetribusian nasional, ketentuan umum dan tata
cara perRetribusian, Edisi 2, Bagian Peneribitan Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1993
Mardiasmo, PerRetribusian, Edisi Revisi, Penerbit
Andi, Yogyakarta, 2002.
Rochmat
Soemitro, Asas dan Dasar
PerRetribusian 1, PT Eresco, Bandung, 1986
————-, Retribusi Daerah, PT Eresco, Bandung,
1997
————-, Retribusi ditinjau dari segi hukum, PT
Eresco, Bandung, 1996
————-, Pengantar Singkat Hukum Retribusi, PT
Eresco, Bandung, 1995
Peraturan perundang-undangan
Undang Undang
nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor
16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara PerRetribusian
Undang Undang
nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor
17 tahun 2000 tentang Retribusi Penghasilan
Undang Undang
nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor
18 tahun 2000 tentang Retribusi Pertambahan Nilai dan Retribusi Penjualan
Barang Mewah
Undang Undang
nomor 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang
nomor 12 tahun 1994 tentang Retribusi Bumi dan Bangunan
Undang Undang
nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai
Undang Undang
nomor 20 tahun 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
UU No. 18 Tahun 1997
UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 28
Tahun 2009