Total Tayangan Halaman

Rabu, 30 Desember 2015

makalah Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang  Masalah
Sejak  awal terbentuknya Republik Indonesia adalah Negara kesatuan.Sebagai negara kesatuan, maka daerah merupakan bagian yang tak terpisahkanuntuk melaksanakan pemerintahan.Setiap daerah yang disebut daerah otonomdiberi wewenang oleh pemerintah pusat untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah danUU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusatdan Pemerintah Daerah maka menjadi tanggung jawab bagi setiap daerah untukmemenuhi kebutuhan daerahnya masing-masing. Untuk memenuhi semuapembiayaan daerah sendiri maka setiap daerah harus dapat menghimpun dana sebesar-besarnya untuk pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan akan berjalan baik jika didukung biaya dan sumber daya manusia yang baik pula. Sedangkan Sumber Pendapatan Asli Daerah sesuai dengan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 adalah: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan Lain-Lain Pendapatan Asli daerah yang Sah. Berdasarkan sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut di atas yang paling potensial dan memberi masukan terbesar pada kas daerah adalah pajak danretribusi daerah. Retribusi daerah pada dasarnya dikelola sendiri oleh setiap daerah,maksudnya untuk pengelolaan retribusi daerah ini antara daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda-beda. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun2001 tentang Retribusi Daerah, salah satu pungutan retribusi daerah adalah retribusi pasar. Penerimaan retribusi pasar di daerah mempunyai peranan yang cukup besar dalam menunjang penerimaan pendapatan asli daerah (PAD).
Pembangunan di Indonesia masih terus dilaksanakan walaupun sekarang ini keadaan Negara yang kurang stabil. Pembangunan ini meliputi segala bidang aspek kehidupan, yang pada hakekatnya menciptakan suatu Masyarakat yang adil dan makmur bagi bangsa Indonesia. Upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat agar semakin adil dan merata harus terus ditingkatkan, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan melalui upaya nyata dalam bentuk perbaikan pendapatan dan peningkatan daya beli Masyarakat. Pembangunan yang berhasil dirasakan oleh rakyat sebagai perbaikan tingkat taraf hidup pada segenap golongan Masyarakat akan meningkatkan kesadaran mereka akan arti penting pembangunan dan mendorong Masyarakat berperan aktif dalam pembangunan.
Dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, juga menetapkan pengaturan yang cukup rinci untuk menjamin prosedur umum perpajakan dan Retribusi Daerah. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah sebagai subsistem Pemerintah Negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan Masyarakat sebagai Daerah Otonomi.
Dalam rangka mengoptimalisasikan Pendapatan Asli Daerah, tiap Kabupaten/kota di Indonesia juga menjadikan sektor Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai sumber keuangan yang paling diandalkan. Sektor Pajak Daerah tersebut meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C serta Retribusi Daerah yang terdiri: Retribusi Jasa Umum antara lain Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Persampahan, Jasa Usaha dan Retribusi Perijinan tertentu merupakan sektor yang sangat besar untuk digali dan diperluas pengelolaannya.
Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di Daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu Daerah di era Otonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah Daerah pada masa lalu, akhirnya mengkondisikan Daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari Pemerintah Pusat. Rendahnya konstribusi pendapatan asli Daerah terhadap pembiayaan Daerah, karena Daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana Pajak dan retribusi yang mampu memenuhi hanya sekitar 20%-30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% 80% didrop dari pusat. Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana Pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi Daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fungsi Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah  (PAD) Berdasarkan  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi daerah.?
2. Hambatan apa dihadapi dalam fungsi Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berdasarkan  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi.?  daerah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan sebagaimana permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah untuk :
1.      Mengetahui fungsi Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
2.      Mengetahui dan menganalisa hambatan-hambatan terhadap fungsi Retribusi Daerah Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD














BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Teori Kebijakan
Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002)
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan. 
Sedangkan menurut Anderson (1975) Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan badan dan pejabat - pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah :
1.      Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2.      Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
3.      Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
dilakukan.
4.      Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu.
5.      Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan
pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
B.     Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumberdaya terbesar Penerimaan di seuruh daerah di Indonesia dan salah satu sumber penerimaan yang harus dipacu pertumbuhannya secara berkesinambungan. Agar hal ini dapat dicapai tentunya komponen yang berkaitan dengan itu harus ditindak lanjuti. Misalnya dengan memberikan pelayanan yang baik dan perbaikan-perbaikan fasilitas umum bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat turut merasakan manfaat pajak yang dibayarkan.
Otonomi telah merubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan di daerah dimana kekuasaan yang bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan kebijakan pengaturan pemerintahan daerah tersebut diselaraskan dengan adanya perubahan kebijakan terhadap pajak dan retribusi daerah sebagai landasan bagi daerah dalam menggali potensi pendapatan daerah khususnya pendapatan asli daerah, yakni Undang-undang Nomor 18 Tahun 1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perubahan berbagai kebijakan nasional sebagaimana dimaksud membawa harapan besar bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan menggali potensi daerahnya masing-masing sebagai sumber pendapatan daerah, khususnya pendapatan asli daerah. Harapan dari daerah tersebut merupakan hal yang wajar, karena diberikannya berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya dibarengi dengan muatan kewenangan untuk mengurus keuangannya secara otonom dalam membiayai penyelenggaraan otonomi, baik dalam menggali sumber-sumber keuangan, pemanfaatannya serta pertanggung jawabannya (Ridho,2011).
Pendapatan Asli Daerah dapat diartikan sebagai pendapatan yang bersumber dari pungutan-pungutan yang dilaksanakan oleh daerah berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku yang dapat dikenakan kepada setiap orang atau badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta, karena perolehan jasa yang diberikan pemerintah daerah tersebut maka daerah dapat melaksanakan pungutan dalam bentuk penerimaan pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah yang diatur dalam undang-undang.
Pembangunan ekonomi suatu daerah membutuhkan sejumlah dana yang diperoleh atau berasal dari berbagai sumber yang dikelola oleh daerah. Dalam otonomi daerah pembangunan ekonomi suatu daerah dilakukan berdasarkan kemampuan pendapatan daerah, karena hak atas pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah dan pembangunan ekonomi di daerah telah diserahkan secara otonom kepada Pemerintah Daerah yaitu pemerintah Kabupaten dan Kota.
1.      Pajak Daerah
 Pajak adalah bentuk pendapatan daerah yang ditentukan oleh undang-undang sebagai kewajiban masyarakat yang dibayarkan kepada pemerintah secara periodik, yaitu setiap tahun. Menurut Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah : Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Jenis pajak daerah yang dipungut provinsi yaitu : (1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (PKB-KAA), (2) bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB-KAA), (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), (4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan (P3ABT dan AP).
Demi rasa keadilan dan asas pemerataan maka undang-undang mengatur Bagi Hasil Pajak dan Realokasi Pajak daerah provinsi dengan daerah kabupaten/kota. Pajak provinsi yang bersumberdari PKB-KAA, BBNKB-KAA, PBBKB dan P3ABT dan AT sebagian diserahkan kepada Kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut : (1) minimum 30% dari penerimaan PKB-KAA dan BBN-KAA, (2) minimum 70% dari penerimaan PBB-KB, (3) minimum 70% dari penerimaan P3ABT dan AP.
Pengalihan bagian penerimaan pajak daerah provinsi tersebut lebih lanjut diatur dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar daerah kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Sedangkan penggunaan bagian daerah kabupaten/kota diatur dan ditetapkan oleh daerah itu sendiri.
2.      Retribusi
Retribusi merupakan pungutan resmi yang diatur dengan undang-undang terhadap sejumlah kegiatan atau obyek yang terdapat disuatu daerah. Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan mempertimbangkan prinsip dan sasaran penetapan tarif. Hasil penerimaan hasil retribusi tertentu kabupaten, sebagian diperuntukkan kepada desa. Penetapannya diatur dengan Perda Kabupaten dengan memperhatikan aspek keterlibatan desa dalam penyediaan layanan tersebut.
Menurut Undang-undang nomor 34 Tahun 2000 retribusi adalah : Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Retribusi terdiri dari retribusi pelayanan kesehatan, retribusi catatan sipil, retribusi sampah, retribusi parkir, retribusi pasar, retribusi terminal, retribusi rumah potong hewan dan lain-lain.
3.      Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Bagi daerah yang memiliki BUMD seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), Badan Kredit Kecamatan, pasar, tempat hiburan/rekreasi, villa, pesanggrahan, dan lain-lain keuntungannya merupakan penghasilan bagi daerah yang bersangkutan.
4.      Lain-lain PAD yang Sah
Lain-lain PAD yang sah meliputi : Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, Jasa giro, Pendapatan bunga, Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, Komisi/potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan berang dan/atau jasa oleh daerah.
Selanjutnya diantara komponen Pendapatan Asli Daerah, perlu dicermati komponen pajak daerah dan retribusi daerah aspek yuridis yang berimplikasi terhadap peranannya dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Kajian yuridis landasan pajak daerah dan retribusi daerah harus ditetapkan dalam sebuah undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 158 UU No.32/2004 : ”Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah”.

5.      Keuangan Daerah
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan iniPamudji menegaskan:“Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan… Dan keuangan inilah yang merupakan salah satudasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”.
Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya Daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Dalam hal ini  Daerah dapat memperolehnya melalui beberapa cara, yakni:  Pertama : mengumpulkan dana dari Pajak Daerah yang sudah direstui oleh  Pemerintah Pusat;  Kedua : melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau bank  atau melalui Pemerintah Pusat;  Ketiga : mengambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang  dipungut Daerah, misalnya sekian persen dari pendapatan  sentralnya tersebut;  Keempat : menambahkan tarif pajak sentral tertentu, misalnya pajak kekayaan atau pajak pendapatan;  Kelima : menerima bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat.
Dari ketentuan tersebut di atas maka pendapatan Daerah dapat dibedakan  ke dalam dua jenis yaitu: pendapatan asli Daerah dan pendapatan non-asli  Daerah. Sampai dengan saat ini, sumber-sumber pendapatan asli Daerah  terdiri dari: Pajak Daerah, Rochmad Sumitro mengemukakan  bahwa “Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan darisektor partikelir ke sektor Pemerintahan) berdasarkan undang–undang(dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (tegen presttie) untuk membiayai pengeluaran umum (publike uitgaven), dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.”
Dari pendapat terdapat tersebut di atas terlihat bahwa ciri mendasar
pajak adalah:
a.       Pajak dipungut oleh negara berdasarkan kekuatan dan/atau peraturan hukum dan lainnya.;
b.      Pajak dipungut tanpa adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk;
c.       Hasil pungutan pajak digunakan untuk menutup pengeluaran negara dan sisanya apabila masih ada digunakan untuk investasi;
d.      Pajak disamping sebagai sumber keuangan negara (bugetair), juga berfungsi sebagai pengatur ( regulair).
Sumber pendapatan Daerah yang penting lainnya adalah retribusi  Daerah. Pengertian retribusi secara umum adalah “pembayaran-pembayaran kepada Negara yang dilakukan oleh mereka yang  menggunakan jasa–jasa negara”.
Dari pendapat-pendapat di atas telihat bahwa ciri mendasar dari retribusi adalah:
Retribusi dipungut oleh negara;
Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis;
Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk;
Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan jasa-jasa yang disiapkan negara.
6.      Pertimbangan dalam Pungutan Retribusi
Pungutan retribusi langsung atau konsumen dalam praktekknya biasanya dikenakan karena satu atau lebih dari pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.       Apakah pelayanan tersebut merupakan barang-barang publik atau privat, mungkin pelayanan tersebut dapat disediakan kepada setiap orang.
b.      Suatu jasa yang melibatkan suatu sumber daya yang langka atau mahal dan  perlunya disiplin Masyarakat dalam mengkonsumsinya.
c.       Ada beberapa jenis konsumsi yang dinikmati oleh individu bukan karena kebutuhan pokok sehingga lebih merupakan pilihan daripada keperluan.
d.         Jasa-jasa dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan mencari keuntungan disamping memuaskan kebutuhan-kebutuhan individual di kantor pos, telepon seluruhnya digunakan secara luas oleh industri.
7.      Tingkat Pengenaan Retribusi
Secara garis besar ada beberapa tingkatan pengenaan retribusi yang digunakan oleh Pemerintah terhadap Masyarakat, yaitu retribusi atas jasa-jasa pelayanan umum atas pemakaian langsung (pelayanan secara keseluruhan), retribusi untuk jasa-jasa pelayanan umum yang membutuhkan tingkat pengembalian biaya langsung (direct cost) yang berbeda, dan retribusi berdasar kewenangan tertentu Pemerintah Daerah atas penerimaan retribusi tersebut.

                                                             














BAB III
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Pengaturan Retribusi Daerah Dari Tahun 1997 – 2009
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa pengaturan terkait retribusi daerah mulai ada sejak tahun 1997, melalui UU No. 18 Tahun 1997 pemerintah memberi peluang pada daerah untuk melakukan pungutan retribusi guna pembiayaan pembangunan daerah itu sendiri.
Sebagaimana ditegaskan oleh UU No. 18 Tahun 1997 pada bagian konsiderannya menyebutkan tujuan retribusi daerah sebagai “sumber pendapatan daerah untuk membiayaan penyelenggaraan pemerintahaan daerah dan pembangunan daerah untuk menetapkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggungjawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II.”[14] Dari tujuan tersebut, jelas tergambar bahwa retribusi dikhususkan untuk membiayaan daerah tingkat II, atau kabupaten / kota.
Pungutan terhadap pajak dan retribusi daerah bersifat memaksa dan dapat dipaksakan. Hal tersebut ditegaskan oleh UUD 1945 dalam Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Norma yang demikian mempunyai makna bahwa segala sesuatu pungutan yang menjadi beban rakyat harus sepengetahuan rakyat melalui representasinya di lembaga perwakilan rakyat. Persoalan pajak dan retribusi daerah masuk dalam lingkup konstitusional yang dimaksud di atas, sehingga perlu ada pengaturan umum tentang pajak dan retribusi daerah ke dalam undang-undang. Undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 23A tersebut, dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[15]. Dengan demikian, berlaku asas hirarkies dalam peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Untuk itu, pengaturan mengenai retribusi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, tidak bisa hanya diatur berdasarkan peraturan menteri atau keputusan Presiden. Untuk pengaturan pajak dan retribusi daerah sebagaimana telah disebut seblumnya, diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997, diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000, dan terakhir digantikan oleh UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
UU No. 28 Tahun 2009 tersebut yang menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pungutan Pajak dan Retribusi Daerah. UU Pajak dan Retribusi Daerah tersebut telah merinci jenis-jenis pajak dan retribusi yang menjadi kewenagan pemerintah provinsi, kabupaten atau kota. Pembagian tersebut, juga didasarkan pada pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berikut perbandingan jenis pajak dan retribusi daerah, berdasarkan regulasi yang mengaturnya:
Tabel 1: Jenis Pajak Daerah Berdsarkan UU Keberlakuannya.
Jenis Pajak dan Retribusi Daerah
UU No. 18/1997
UU No. 34/2000
UU No. 28/2009
Pajak Daerah Provinsi
Pajak Kendaraan Bermotor
Bea Balik Nama Kendaraan
Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Pajak Air Permukaan
Pajak Rokok
Pajak Daerah Kabupaten/Kota
Pajak Hotel dan Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Pajak Parkir
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Air Tanah
Pajak Mineral Bukan Logam
Pajak Sarang Burung Walet
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Sumber : Data Olahan Dari UU No. 18/1997, UU No. 34/2000, UU No. 28/2009[16]



Tabel 2 : Jenis Retribusi Daerah Berdasarkan UU Keberlakuannya.
Jenis Retribusi Daerah
UU No. 18/1997
UU No. 34/2000
UU No. 28/2009
Retribusi Jasa Umum;
√*
Retribusi Jasa Usaha
√*
Retribusi Perizinan Tertentu
√*
Sumber : Data Olahan Dari UU No. 18/1997, UU No. 34/2000, UU No. 28/2009

Dari ketiga undang-undang tersebut, UU No. 28 Tahun 2009 lah yang merinci macam-macam retribusi. Klasifikasi retribusi daerah terdiri atas 3 golongan, yaitu:
1.      Retribusi Jasa Umum,
yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah (pemda) untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;
2.      Retribusi Jasa Usaha,
yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta; dan
3.      Retribusi Perizinan Tertentu,
yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemda dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan

B.     Optimalisasi Retribusi Daerah

Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau obyek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang.
Menurut Machfud Sidik dukungan teknologi informasi secara terpadu mutlak diperlukan sebagai upaya mengintensifkan pajak karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Lebih lanjut Machfud menegaskan bahwa masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya : baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.
Retribusi daerah berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 memiliki kontribusi yang besar terahdap daerah. Oleh sebab itu retribusi daerah harus dimaksimalkan. Apabila dilihat dari komponen retribusi daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 terdiri dari 3 bentuk retribusi yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu dengan total 30 jenis retribusi. Di samping 30 jenis retribusi tersbut, UU No. 28 Tahun 2009 juga membuka peluang bagi daerah untuk menentukan jenis retribusi lainnya dengan beberapa kriteria yang ditentukan. Dengan demikian ketika daerah ingin melakukan pungutan atau retribusi selain yang telah disebutkan secara tegas dalam UU No. 28 Tahun 2009, daerah juga bisa melakukan pungutan retribusi lain dengan syarat memenuhi kriteria yang ditentukan UU No. 28 Tahun 2009. Dibukanya kesempatan bagi daerah untuk melakukan pungutan retribusi selain yang telah ditentukan oleh undang-undang merupakan hal positif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa di negara monderen yang menganut paham welfare state akan sulit membatasi lingkup kewenangan daerah, hal tersebut disebabkan perkembangan yang terjadi dalam masyarkat, sehingga menjadikan pemerintahan semakin dinamis.
Dengan demikian tentunya menuntut suatu kehadiran regulasi yang dinamis pula. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, dan RTI terlihat bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, beberapa diantaranya :
  1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan  pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
  1. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Darisegi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi inimengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
  1. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
  1. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
Meminjam pendapat Machmud Sidik, secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, diantaranya:[32]
  1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.
  1. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
  1. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.
  1. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.

  1. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
Menurut Frenadin Adegustara, ada beberapa pola dan strategi yang bisa dilakukan dalam meningkatkan PAD terutama terhadap pajak dan retribusi daerah adalah :
1.      Penyederhanaan sistem dan prosedur pajak dan retribusi daerah
·         Harus ada pelayanan prima, dalam artian waktu dan tempat harus jelas serta sikap yang ramah dari petugas pajak itu sendiri. Untuk tahap awal bisa dibentuk seperti KP2T untuk pajak dan retribusi daerah, dimana masyarakat hanya pergi ke satu tempat untuk melakukan pembayaran.
·         Karena sistem tersebut belum efektif maka pemerintah daerah dapat melakukan sistem jemput bola dimana pajak tersebut langsung dijemput oleh petugas pajak.
2.         Peningkatan pengawasan terhadap penerimaan pajak baik terhadap wajib pajak maupun petugas pajak. Untuk wajib pajak harus ada kontrol dari pemerintah daerah terhadap nota penjualan. Sedangkan untuk petugas harus ada peningkatan WASKAT (pengawasan melekat) dari atasan kepada bawahan. Bagi retribusi yang instansinya menggunakan karcis dilakukan dengan cara stop opname karcis agar jelas antara penerimaan dan pengeluaran pada akhir tahun.
3.      Membenahi peraturan-peraturan daerah terkait dengan berbagai jenis pungutan pajak maupun retribusi.
4.      Perlu meminta masukan yang kepada masyarakat dalam pembuatan peraturan daerah khususnya pajak daerah dan retribusi daerah agar masyarakat tidak terbebani.
5.      Peningkatan SDM, dalam hal ini bisa berupa pemberian pelatihan bagi petugas pajak (pembinaan tersebut dilakukan oleh atasan).
C.    Pengelolaan Pendapatan Daerah beserta Implikasinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Daerah dalam struktur APBD masih merupakan elemen yang cukup penting Fungsinya baik untuk mendukung penyelenggaraan Pemerintahan maupun pemberian pelayanan kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan, maka pendapatan Daerah masih merupakan alternatif pilihan utama dalam mendukung program dan kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten/Kota di Indonesia.
Formulasi kebijakan dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan Daerah akan lebih difokuskan pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli Daerah, dana perimbangan dan penerimaan Daerah lainnya. Kebijakan pendapatan Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2006-2010 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar kurang lebih 10 % dan pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh adanya pertumbuhan pada komponen PAD dan komponen Dana Perimbangan.
Adapun alternatif sumber-sumber penerimaan Daerah Kabupaten Bengkalis untuk masa mendatang, antara lain berasal dari:
1. Intensifikasi dan Ekstensikikasi PAD
Dalam lima tahun mendatang, kemampuan keuangan Daerah Kabupaten /Kabupaten di seluruh Indonesia akan ditingkatkan dengan mengandalkan pada Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan retribusi dan Pajak Daerah. Namun demikian, kekuatan pembaharuan  yang diajukan sebagai  strategi barunya adalah pada aksentuasi manajemen pengelolaan dan audit kinerjanya.
2. Pengembangan Kerjasama dalam Menggali PAD
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan di Daerah, akan dikembangkan strategi baru yang tidak semata berorientasi pada intensifikasi maupun ekstensifikasi retribusi dan Pajak Daerah.
3. Pembentukan Perseroan Daerah
Strategi ketiga pengembangan kemampuan keuangan Daerah ialah dilakukan dengan memformulasikan regulasi-regulasi ekonomi baru terutama mengarah pada pembentukan berbagai perseroan Daerah serta merevitalisasi badan usaha Daerah yang sudah ada.
4. Penerbitan Obligasi dan Pinjaman Daerah
Disamping strategi konvensional pemungutan retribusi dan Pajak Daerah, kemampuan keuangan Daerah akan dikembangkan melalui bursa obligasi Daerah (Municipal Bond).
5. Kebijakan Umum Anggaran
Kebijakan umum penganggaran yang dicanangkan Pemerintah derah untuk lima tahun ke depan ditujukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sistem penganggaran Daerah sesuai dengan Amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.






BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Retribusi Daerah mempunyai Fungsi yang sangat penting terhadap Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Bengkalis.Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan Fungsi Retribusi Daerah yaitu masih kurangnya kesadaran wajib retribusi dalam memenuhi kewajibannya dalam membayar Retribusi Daerah, adanya penyimpangan dari petugas penarik retribusi yaitu tidak memberikan karcis sebagai bukti pembayaran retribusi yang dipungut, serta hambatan keadaan perekonomian bangasa Indonesia yang tidak stabil dari tahun ke tahun.
Bahwa retribusi daerah, memiliki peran besar dalam mendukung dan menyukseskan terselenggaranya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan ketika diterapkannya otonomi daerah, desentralisasi dalam artian pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak hanya sebata penyelenggaraan pemerintahan. Tapi lebih dari itu, yang tak kalah penting adalah desentralisasi fiskal. Karena dengan adanya otonomi daerah, berarti akan ada biaya untuk itu, maka dengan desentralisasi fiskal lah salah satu bentuk yang akan mengisi kebutuhan anggaran tersebut. Retribusi sebagai salah satu sumber PAD menurut UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 33 Tahun 2004 dibeberapa daerah telah terbukti memberi pemasukan terbesar untuk PAD bahakan melebihi pemasukan yang berasal dari pajak daerah.
Terkait pengaturan retribusi daerah dari tahun 1997 hingga tahun 2009 telah diatur dalam tiga undang-undang, sebagai dasar bagi daerah untuk melakukan pengutan terahadap pajak daerah dan retribusi daerah. Tiga undang-undang tersebut, antaralain UU No. 18 Tahun 1997 yang dirubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan pada tahun 2009 kedua undang-undang tersebut dicabut dan digantikan oleh UU No. 28 Tahun 2009. Terdapat beberapa perbedaan diantara tiga undang-undang tersebut dalam mengatur masalah retribusi daerah. Salah satu perbedaanya pada UU No. 28 Tahun 2009 dari tiga jenis pungutan retribusi, terdapat 30 bentuk retribusi. Sedangkan pada UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 18 Tahun 1997 dari tiga jenis retribusi ada 28 bentuk retribusi daerah yang dapat diterapkan. Selain itu, UU No. 28 Tahun 2009 juga menrubah sistem hubungan pengawasan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal pengawasan Peraturan Daerah (Perda) terkait Pajak dan Retribusi. Dimana pada UU No. 28 Tahun 2009, terhadap Rancangan Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi daerah dinilai oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan ketika masih berbentuk rancangan, dan ketika dari rancangan tersebut perlu disesuaikan atau diganti atau bahkan ditolak oleh menteri maka terhadap rancangan tersebut masih bisa diperbaiki oleh pembentuk Perda. Dan sebagai upaya represif terhadap perda yang kemudian disahkan oleh pembentuk Perda, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda tersebut, dan apabila Pemerintah Daerah keberatan dapat mengajukan upaya hukum keberatan kepada Mahkamah Agug. Hal seperti itu, yang tidak diatur oleh UU No. 34 Tahun 2000 maupun oleh UU No. 18 Tahun 1997. Dimana Pemerintah Pusat hanya memiliki peran represif terhadap Perda yang telah dibentuk. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan UU No. 28 Tahun 2009 telah mendungkung pemaksimalan retribusi sebagai sumber pendanaan otonomi daerah. Walaupun dari UU No. 28 Tahun 2009 tersebut masih terdapat berbagai kelemahan, tentunya hal tersebut kedepan bisa diperbaiki.
B. Saran-Saran
Bagi pembayar Retribusi (pedagang), hendaknya selalu membayar retribusi pelayanan pasar, karena retribusi tersebut pada dasarnya akan dimanfaatkan oleh pembayar Retribusi (pedagang) sendiri, yaitu sebagai dana untuk memperbaiki fasilitas pasar yang rusak.
Bagi petugas, hendaknya pungutan dilakukan secara tepat artinya dilakukan dengan prosedur yang benar, sehingga tidak menimbulkan kebocoran pemasukan. Langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran untuk menarik retribusi dengan selalu memberikan tanda bukti pembayaran, serta melaporkan secara jujur perolehan retribusinya.




















DAFTAR PUSTAKA
Bohari, Pengantar Hukum Retribusi, Edisi Pertama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Erly Suandy, Peretribusian, Jakarta : Salemba Empat, 2002.
Gunadi, Retribusi Daerah, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, 1997
———, PerRetribusian Jilid I, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, 1997
Kaho, Josef Riwu. 1995. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia:
Koswara, E. 2001. Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat. Jakarta: Yayasan Pariba.
Shah, Anwar. 1991. “Perspective on The Design of Intergovernmental Fiscal Relation”. The PRE Working Paper Series No. 726. 1991. Washington D.C.: The World Bank. Hlm. 24-26.
Mansury, Retribusi Penghasilan Lanjutan, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1996
Muqadam, PerRetribusian Buku I: Dasar-dasar hukum Retribusi, pembaharuan perRetribusian nasional, ketentuan umum dan tata cara perRetribusian, Edisi 2, Bagian Peneribitan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1993
Mardiasmo,  PerRetribusian, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002.
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar PerRetribusian 1, PT Eresco, Bandung, 1986
————-, Retribusi Daerah, PT Eresco, Bandung, 1997
————-, Retribusi ditinjau dari segi hukum, PT Eresco, Bandung, 1996
————-, Pengantar Singkat Hukum Retribusi, PT Eresco, Bandung, 1995


 Peraturan perundang-undangan
Undang Undang nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara PerRetribusian
Undang Undang nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang Retribusi Penghasilan
Undang Undang nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 18 tahun 2000 tentang Retribusi Pertambahan Nilai dan Retribusi Penjualan Barang Mewah
Undang Undang nomor 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 12 tahun 1994 tentang Retribusi Bumi dan Bangunan
Undang Undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai
Undang Undang nomor 20 tahun 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
UU No. 18 Tahun 1997

UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 28 Tahun 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar