BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuatan keputusan merupakan penompang utama
kegiatan administrasi. Sebagi besar proses administrasi berupa serangkaian
pemelihan alternatif tindakan atau pengambilan kebijakan.
Merupakan yang utama
dalam melaksanakan pekerjaan adalah keunggulan budi dan keunggulan karakter
yang menghasilkan kerja dan kinerja yang unggul pula. Tentunya, keunggulan
tersebut berasal dari buah ketekunan seorang manusia Mahakarya. Kemampuan
menghayati pekerjaan menjadi sangat penting sebagai upaya menciptakan
keunggulan. Intinya, bahwa saat kita melakukan suatu pekerjaan maka hakikatnya
kita sedang melakukan suatu proses pelayanan. Menghayati pekerjaan sebagai
pelayanan memerlukan kemampuan transendensi yang bersifat melampaui ruang gerak
manusia yang kecil. Hal ini semua dapat terlihat dan tertuang dalam etos kerja.
Etika dalam pelaksanaan administrasi publik menjadi salah satu masalah yang
menjadi kelemahan dasar dalam pelaksanaan administrasi di Indonesia. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia
administrasi. Padahal, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan
kepuasan public sekaligus sebagai keberhasilan organisasi administrasi itu
sendiri. Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap pelayanan public mulai dari
penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi, pelayanan untuk
mencapai tujuan akhir pelaksanaan administrasi.
Etos kerja dikatakan sebagai faktor penentu dari keberhasilan
individu, kelompok, institusi dan juga yang terluas ialah bangsa dalam mencapai
tujuannya. Pada pelaksanaan administrasi publik juga dipengaruhi oleh etos
kerja yang dimiliki oleh pejabat-pejabat publik dalam tugasnya menyelenggarakan
kebutuhan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji
dan mengulas tentang Administrasi, nilai-nilai judisial dan norma pengawasan dalam
suatu Etos Kerja maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan,
sehingga kami membuat rumusan masalah sebagai berikut
C. Tujuan dan manfaat penulisan
Tujuan disusun makalah ini
adalah untuk memenuhi tugasa Mata Kuliah Etika Administrasi Publik dan menjawab
pertayaan-pertayaan yang ada pada rumusan masalah.
Manfaat dari penulisan
makalah ini adalah untuk adalah untuk meningkatkan pengetahuan kami dan pembaca
tentan Administrasi, Nilai-nilai Judicial, dan Norma Pengawasan dalam suatu
Etos Kerja.
D. Metode Penulisan
Penulisan memakai metode
studi literature dan kepustakan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku, tetapi
juga dari media-media lain seperti seperti e-book, web, blog dan perangkat
media massa yang diambil dari internet.
BAB II
LANDASAN
TEORI
A. Pengertian Administrasi
1. Menurut Ulbert, “Administrasi
secara sempit didefinisikan sebagai penyusunan dan pencatatan data dan
informasi secara sistematis baik internal maupun eksternal dengan maksud
menyediakan keterangan serta memudahkan untuk memperoleh kembali baik sebagian
maupun menyeluruh. Pengertian administrasi secara sempit ini lebih dikenal
dengan istilah Tata Usaha”
2. Menurut William Leffingwell dan Edwin
Robinson, “Administrasi adalah cabang ilmu manajemen yang berkenaan dengan
pelaksanaan pekerjaan perkantoran secara efisien, kapan, dan dimana pekerjaan
itu harus dilakukan.”
3. sedangkan, menurut WH Evans
“Administrasi adalah fungsi yang menyangkut manajemen dan pengarahan semua
tahap operasi perusahaan mengenai pengolahan bahan keterangan, komunikasi, dan
ingatan organisasi.”
4. Menurut George Terry, “Administrasi
adalah perencanaan, pengendalian, dan pengorganisasian pekerjaan perkantoran,
serta penggerakan mereka yang melaksanakannya agar mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.”
Pada pengertian di atas, terdapat dua
perbedaan pengertian administrasi yaitu :
a.
Administrasi dalam arti sempit
Menurut
Soewarno Handayaningrat mengatakan “Administrasi secara sempit berasal dari
kata Administratie (bahasa Belanda) yaitu meliputi kegiatan catat-mencatat,
surat-menyurat, pembukuan ringan, ketki-mengetik, agenda dan sebagainya yang
bersifat teknis ketatausahaan”(1988:2).
b.
Administrasi dalam arti yang lebih luas
Menurut
The Liang Gie mengatakan “Administrasi secara luas adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai
tujuan tertentu”(1980:9).
B. Pengertian nilai
Nilai merupakan
manusia yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain guna menentukan
keputusan.
1.
Pengertian
nilai menurut Kimball Young Nilai ialah asumsi abstrak dan sering tidak
disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting.
2.
Pengertian
nilai menurut A.W. Green Nilai adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung
disertai emosi terhadap objek
3.
Pengertian
nilai menurut Woods Nilai merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung
lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
C. Pengertian
Norma
Dari
segi bahasa Norma berasal dari bahasa inggris yakni norm. Dalam kamus
oxford norm berarti usual or expected way of behaving yaitu norma umum yang berisi bagaimana cara
berprilaku.
Norma
adalah patokan prilaku dalam satu kelompok tertentu, norma memungkinkan
sesorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan
dinilai oleh orang lain, norma juga merupakan kriteria bagi orang lain untuk mendukung
atau menolak prilaku seseorang.
Norma
juga merupakan sesuatu yang mengikat dalam sebuah kelompok masyarakat, yang
pada keselanjutannya disebut norma sosial, karena menjaga hubungan dalam
bermasyarakat. Norma pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan, karena awal
dari sebuah budaya itu sendiri adalah intraksi antara manusia pada kelompok
tertentu yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang disebut norma.
D.
Pengertian Pengawasan
Pengawasan
adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang
dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang
telah ditetapkan tersebut. Controlling is the process of measuring
performance and taking action to ensure desired results. Pengawasan adalah
proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan
apa yang telah direncanakan . The process of ensuring that actual
activities conform the planned activities.
Menurut
Winardi “Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer
dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang
direncanakan”. Sedangkan menurut Basu Swasta “Pengawasan merupakan fungsi
yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang
diinginkan”. Sedangkan menurut Komaruddin “Pengawasan adalah berhubungan dengan
perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal Unk langkah perbaikan
terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti”.
Pengawasan
adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan
untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja
aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah
terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan
yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan atau
pemerintahan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai
tujuan perusahaan atau pemerintahan. Dari beberapa pendapat tersebut diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan hal penting dalam
menjalankan suatu perencanaan. Dengan adanya pengawasan maka perencanaan yang
diharapkan oleh manajemen dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik.
E.
Pengertian Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan
arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap
ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan
masyarakat .
Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah
semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu
kelompok.
Secara terminologis kata etos, yang mengalami
perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda
yaitu:
a. suatu aturan umum atau cara hidup
b. b. suatu tatanan aturan perilaku.
c. c. Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat
aturan tingkah laku .
BAB III
PEMBAHASAN
A. Administrasi, Nilai-Nilai Judisial, Dan Norma
Pengawasan
Pembuatan keputusan merupakan penoman utama kegiatan
administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan
alternatife tindakan atau pengambilan kebijakan. Waktu yang tersedia untuk
mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada
membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, pertimmbangan efsiensiterkadang
tidak memungkinkan bagi para pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat
dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan
yang dibuatnya. Karena itulah para pejbat pemerintah dituntun untuk mampu
menjawab persoalan-persolan secara pramatis.
Pertimbangan lain untuk mengambil keputusan-keputusan
pragmatis ialah kenyataaan bahwa rumusan-umusan legal yang ada capkali tidak
mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Jarang sekali
terdapat permasalahan yang secara esensial sama. Masalah-masalah dating
silih-berganti dan tidak akan pernah ada elemen masalah yang benar-benar dapat
ditangani dengan cara yang sama. Setidak-tidaknya saat timbulnya masalah,
pihak-pihak yang berkepentingan, rentang waktu untuk pembuat keputusan, serta
suasana ekonomis, social, dan politik yang dihadapiakan senantiasa berbeda. Di
samping itu, masyarakat sendiri kadangkala menilai keunggulan seorang pejabat
dari kebenarannya mengambil keputusan pada saat yang tepat, mereka lebih
mengharapkan tindakan-tindakan yang nyata dari pada retorika dan orientasi
legalitas. Oleh sebab itu, dari sisi ini keputusan-keputusan pragmatis
mempunyai legitimasi yang kuat.
Namun demikian, orientasi kepada
ancangan pragmatis juga dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang berbahaya.
Hanya karena waktu yang mendesak atauuntuk memburu reputasi, banyak pejabat
publik yang kemudian mengambil keputusan tanpa menghiraukan kaidah-kaidah hokum
atau peraturan yang berlaku. Akibat dari keputusan-keputusan yang tergesa-gesa
atau bahkan gegabah itu adalah justru semakin parahnya masalah-masalah baru.
Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat public terkadang kurang bias
melihat keseluruhan aspek yang terkait dengan suatu permasalahan public.
Keputusn-keputusan yang dihasilkan lebih merupakan proferensi individual
meskipun peraturan atau kaidah yang mengatur tatacara penyelesaian masalah itu sudah digariskan
secara jelas. Lebih dari itu, pembuatan kebijakan pragmatiskebanyakan hanya
merupakan penyelesain coba-coba(trial anderror)
Untuk itu dalam mengambil
kebijakan-kebijakan public para pejabat punya keajiban agar senantiasa merujuk
kepada nilai-nilai judisial yang berlaku. Istilah judisial senagaja dipakai di
sini untuk menekankan bahwa yang penting bukan sekedar acuan hokum-hukum formal
atau system perundangan yang berlaku melainkan nilai-nilai keadilanyang dianut
dalam ketatanegaraan dan kemasyarakatan.
Menafsirkan dan merumuskan nialai-niali judisial secara tepat merupakan tugas yang sulit karena orang yang
dianut untuk memahami konteks budaya, menyelami prrsepsi hokum dan kesadarn
politis masyarakat, dan mengikuti perkembangan aspirasi rakyat. Namun itulah
yang sesungguhnya merupakan sumber legitimasi kebijakan public yang utama dalam
arti etis maupun juridis.
Maka dalam menjalankan tugas-tugsnya
para pejabat pemerintah selalu berada di tengah-tengah kontradiksi antara
pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu
menyeimbangkan antara preferensi pribadi, kemauan pembuat undang-undang, serta
peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat dia mengabdi.
Oleh karena itu, keputusan-keputusan yang
dibuat pada akhirnya merupakan kompromi anatara preferensi individu dengan
preferensi umum yang kesemuanya diharapkan memakai landasan etika yang benar.
Untuk membuat keputusan, seorang pejabat
memiliki keleluasaan (discretion)
tetapi juga sekaligus mengahadapi kendala atau batasan(constraint). Jika ditinjau dari posisi lembaga biriokrasi, terdapat
pula pengertian control internal (dari dalam lembaga) dan control eksternal
(dari luar lembaga).
Tampak bahwa keputusan-keputusan
administrative tidak pernah, dan tidak akan pernah, berdiri sendiri. Hasil
akhir dari keputusan yang baik biasanya merupakan kristalisasi dari
kepemimpinan yang baik, profesionalisme, penyesuaian dengan system dan
prosedur, pengalaman pribadi serta kemampuanpersuasi pejabat yang bersangkutan
.kegagalan yang banyak dialami oleh orang yang berorientasiakademis dan
mengandalkan ketaatan pada profesi dan prosedur ialah bahwa dia terlalu kaku
dalam menerapkan peraturan, kurang memiliki ketrampilan persuasi, dn lamban
dalam bertindak. Sebaliknya kegagalan orang yang berorientasi pragmatis
disebabkan karena dia sering tidak memperhatikan kaidah hokum, tidak memiliki
lndasan ynag jelas dalam mengambil keputusan, kurang demokratis, tidak
memperhatikan stabilitas organisasi, dan wawasannya sempit. Oleh karena itu,
pembuatan keputusan yang baik harusnlah seorang akademis dan sekaligus
praktisi, seorang generalist yang
sekaligus specialist. Selain itu,
seorang pembuat keputusan public harus senantiasa memerhatikan nilai-nilai judisial yang antara lain dapat
dilihat dan pernyataan-pernyataan berikut.
1. pengusaan urusan-urusan public mewajibkan bahwa para
politisi dari pejabat public bekerja sesuai dengan keinginan public(masyarakat)
dan bukan berdasarkan persepsi mereka tentang keinginan masyarakat tersebut.
2. urusan-urusan public membutuhkan instansi yang
tersentralisasi. Tentu saja sentralisasi kekuasaandi sini mengandung
konsekuensi tanggung jawab moral.
3. peraturan institusi-institusi pemerintah terhadap
masyarakat mayoritas warga Negara bukanlah peraturan absolut. Yang berlaku
dalam hal ini adalah kontrak social atau pendelegasian otoritas antara kelompok
mayoritas (masyarakat) kepada kelompok minoritas (aparatur Negara).
4. pelaksanaaan urusan-urusan public harus berakar pad
hokum. Hokum dapat ditegakkan kalau tindakan-tindakan pejabat public sesuai
dengan kehendak rakyat.
5. pejabat-pejabat public harus menyadari bahwa tidak
semua kasus konkret termuat dalam pasal-pasal hokum. Namun, kebebasan bertindak
harus dilakukan untuk mengahasilkan jurisdiksi-jurisdiksi yang memperkuat
hukuman itu sendri.
6. pejabat-pejabat public bertanggung jawab terhadap
keputusan-keputusan yang berdasarkan preferensi dan wawasannya. Dalam hal ini
tanggung jawabmasyarakat pref erensi dan wawasannya. Dalam hal ini tanggung
jawab menyangkut preferensi untuk melakukan Sesutu (action) atau tidak melakukan sesuatu(inaction).
Kaidah normative yang utama dengan
demikian adalah kesadaran vbahwa sumber legitimasi kebijakan public adalah
kehendak rkyat. Rakyat menyerahkan sebagian hak-haknya kepada administrator
public dengan harapan bahwa aparat-aparat Negara itu akan mengambil kebijakan-kebijakan
yang bermanfaat bagi seluruh rkyat tanpa terkecuali. Keberadaan oraganisasi
publik bermula dari kepercayaan rakyat,public
office is a public trust.
Perkembangan
system ketatanegaraan di
seluruh dunia selama
setengah abad terakhir menunjukkan meluasnya pengakuan atas
hak-hak rakyat. Terdapat kecenderungan di setiap Negara bahwa kekuasaan atas
Negara hendak dikembalikan kepada sumber aslinya, yaitu rakyat. Argumentasi ini
dapat dibuktikan dari tiga wujud perkembangan atau perubahan pada kebanyakan
Negara modern dewasa ini. Perkembangan yang pertama adalah upaya perlindungan
konsitusional yang lebih besar terhadap individu-individu atau hak-hak
kerakyatan dalam deklarasi konsitusi mereka. Deklarasi mengenai hak-hak warga
Negara tersebut terjabar baik dalam bentuk Piagam
Magna Charta, Biil of Rights, atau pembukaan seprti dalam Undang_Undang
Dasar Negara kita. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi itu antara lain
meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik,
serta ha katas perlindungan konsitusi secara umum, Negara juga disyaratkan
untuk melindungi kehidapan warga Negara dalam arti khusus seperti perlindungan
dari kriminalitas dan kejahatan, atau hak-hak yang yang bersifat procedural
apabila warga berhubungan dengan lembaga-lembaga publik (procedural due process). Inilah yang pada dasarnya merupakan sumber
pembatas atau sumber kendali bagi aktivitas administrative dalam wilayah-wilayah
kebijakan publik.
Perubahan legal yang kedua adalah
ditetapkannya kaidah-kaidah judisial atau proses peradilan di dalam aktivitas
administrasi Negara. Ketentuan-ketentuan mengenaipublic law litigation ini dimaksud sebagai sarana bagi keterlibatan
lembaga-lembaga peradilan dalam aktivitas instusi-instusi publik. Ada dua
manfaat yang dapat ditarik dalam keterlibatan lembagan peradilan-peradilan
tersebut. Pertama, tentu saja adalah terlindungnya kepentingan-kepentingan
rakyat, terutama pihak warga Negara yang kedudukannya yang lemah. Sementara
itu, yang kedua adalah manfaat yang
diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tatakerja dalam
institusi-institusi publik serta cara-cara pengambilan kebijakan oleh
aparat-aparatnya. Dalam kaitan ini Negara kita juga sudah memiliki
undang-undang No. 5 Tahun 1986. Diberlakunya undang-undang ini secara konsekuen
jelas akan merupakan penerapan nilai-nilai judisial dalam aktivitas
administrasi Negara. Undang-undang yang disebut sebagai PTUN (Peradilan Tata
Usaha Negara) ini telah memuat ketentuan yang mengenai kompetensi peradilan administrasi
Negara, hokum acara administrative, jajaran kehakimannya, pemeriksaan sengketa
administrative serta pembuktian perkaranya. Jadi sesungguhnya Indonesia telah
mengantisipasi perubahan di bidang legalitas peradilan admiinistrasi.
Persoalannya tinggal bagaimana keamanan politik untuk menerapkan pasal-pasal
dalam undang-undang PTUN itu secara konsekuen.
Kemudian, perkembangan sign ifkan
yang ketiga ialah ekspresi tanggung jawab legal bagi administrator publik. Di
dalam kerangka keterkaitan antara aparat-aparat judisial dengan para pejabat
publik terdapat pergeseran asumsi yang semula mengatakan bahwa pejabat-pejabat
publik memiliki kebebasan mutlak (absolute
immunit) menuju kepada asumsi bahwa bmereka hanya memiliki kebebsan
bersyarat (qualified immunity).
Kebebasan mutlak oleh sebagian besar warga Negara dirasakan sering membawa
akibat-akibat yang merugikan. Para pejabat kerapkali menyalahgunakan
kedudukannya untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan. Hak-hak
individu konstitusional yang seharusnya diperhatikan dan diakui oleh aparatur
pemerintah justru dilanggar, dan tanggung jawab administrator publik terhadap
kesejahteraan umum menjadi luntur. Yang lebih buruk lagi, pejabat kerapkali
mengutamakan kepentingan pribadinyandengan mengatasnamakan tugas-tugas
kedinasan. Ekses-ekses semacam inilah yang kemudian menumbuhkan kesadaran
mayoritas akan perlunya membatasi hak istimewa pejabat-pejabat publik melalui
konsepqualified immunity tadi. Para
pejabat boleh menggunakan keleluasan untuk bertindak hanya apabila tindakan-tin
dakan itu mengara kepentingan pembangunan atau sesuai dengan kepentingan umum.
Di luar itu, kedudukan administrator sama dengan warga Negara yang lain
sehingga setiap pelanggaran administratif maupun nonadministratif yang
dilakukan oleh seorang pejabat tetap harus dikenai tindakan hokum.
Oleh karena itu, dalam rangka
menciptakan system administrasi yang tertib dan bersih kerja sama antara
lembaga-lembaga kehakiman dengan lembaga-lembaga adminiistratif sangat penting
perannya. Hak-hak asasi warga Negara hanya dapat dijamin jika terdapat kaidah
hokum yang menggariskannya semntara kesejahteraan warga Negara pun hanyadapat
dijamin jika terdapat kebijakan-kebijakan administratif yang nyata.keseimbangan
dan interaksi antar kedua sisi ancangan ini sangat diperlukan untuk mengatasi
kontrdiksi-kontradiksi yang selalu akan terjadi.
Ketegangan antar aparat judisial dan
administrator publik terutama menyangkut hak-hak individual serta nilai-nilai
kognitif dan ancangan evaluasi yang menjadi bahan informasi bagi administrasi
Negara. Perkembangan teknologi informasi dan tata kerja administrasi modern,
umpamanya, hampir-hampirtindak memberi peluang bagi privacywarga Negara secara
individual. Apabila interaksi antar lembaga pemerintah dengan warga Negara ini
tidak diatur, maka sosok birokrasi pemerintah akan biasa berubah menjadilevieathan yang dengan congkak
mencerabbut akar-akar hak asasi. Tuntunan legal maupun sosietal untuk
diperluasnya tanggung jawab administrasi semakin banyak itu mendesak kebutuhan akan adanya interaksi antar lembaga-lembaga
peradilan dengan lembaga-lembaga administrasi secara lebih intensif. Lantas bagaimana
kita harus merumuskan bentuk keterkaitan antara lembaga judisial (kehakiman)
dengan lembaga administrative di masa depan? Beberapa model dapat diajukan
untuk melihat kemungkinan penerapannya di masa mendatang.
1. Pengusaan
(coping)
Ketegangan antara kekuasaan
kehakiman dan kekuasaan administratif mungkin kita akan tak akan pernah
berakhir. Maka untuk menjaga kelancaran tugas-tugas kenegaraan, salah satu
aspek kekuasaan harus bias mengusai yang lainnya. Dengan kata lain harus ada semacam interaksi
kooptai. Jika pengusaan itu dari kehakiman, maka para hakim harus memiliki
kemampuan seperti yang terdapat pada pada administrator, seperti halnya
eksekutifdan legislator. Selain kemampuan judisialnya, para hakim harus pula
memiliki kemampuan manjerial dan sanggup mengadakan reformasi
institusi-institusi publik dengan baik. Jika pengusaan dari sisi
administrative, model pengusaan harus menemukan cara-cara untuk mengurangi
campurtangan partner judisial. Sebagai missal, kalau masalah pertanggungjawaban
persoalan meningkat karena banyaknya keputusan-keputusan judisial, penggantian
kerugian (indemnification) oleh
pemerintah harus diperbanyak. Model pengusaan tidak banyak dianjurkan karena
merupakan penengan masalah yang sebenarnya tidak memecahkan persoalan. Ttapi
dalam kenyataan model inilah yang sering terjadi, dan memang ketegangan antara
administrasi Negara dan konsitusionalisme demokrasi sulit untuk dipecahkan
secara permanen.
2. konvergensi
Model ini mengasumsikan bahwa interaksi antara
aparat kehakiman dan administrator publik akan
menghasilkan harmoni. Masing-masing pihak bukan hanya saling memaksakan
tuntunan, tetapi bias saling megadakan consensus dalam prsoalan-persoalan
administrasi Negara. Sebagai contoh, aparat kehakiman mungkin akan lebih
piawali melakukan analisiscost effective
atau cost-benefitdan mampu memahami
generalisasi statistic dari pengalaman mereka degan peradilan administrasi.
Para administrator publik juga dapat mengembangkan program-program yang sesuai
dengan hak-hak konstitusional individu dan nilai-nilai adminitratif dengan
demikian dapat dipadukan apabila tujuan keduanya mengacu kepada tujuan Negara
yang paling mendasar.
3.
kemunduran judisial (judicial with drawal)
Sebagian kritikus, akademis dan
praktisi tetap mengecam campur tangan atau intervensi yang berlebihan para
jaksa dan hakim dalam administrasi Negara. Dalam keadaan di mana Negara
membutuhkan kebijakan-kebijakan taktis di bidang ekonomi untuk meningkatkan
kemakmuran, aspek judisial terkadang dirasa mengambat karena para administrator
lalu disibukkan dengan pengaduan dan peradilan sengketa-sengketa administratif.
Kekuasaan judisial yang berlebihan dan terlalu bebasnya para warga untuk
menggunakan gugatan adminstratif bias beruubah menjadi kekuatan operasi yang
melumpuhkan perkembanagan adminstrasi Negara. Maka ada saat-saat di mana
kekuasaan kehakiman perlu menarik diri dari wilayah urusan administrasi, misalnya saja pengurangan campur
tangan judisial dalam keputusan-keputusan menajerial menegah serta teformasi
institusi-institusi publik.
4.
Perluasan hak (expending rights)
Asumsi
yang dipakai ialah bahwa kemungkinan jangka panjang untuk memperkuat dan
memperluas hak-hak asasi individual akan terus bertambah. Hukum konstitusional
di masa menatang akan memperluas konsepsinya tentang kebebasan dengan
memasukkan “kebebasan positif” (positive
liberty), atau kebebasan untuk menikmati kondisi-kondisi kehidupan yang
memungkinkn tiap individu dapat menjadi “majikan bagi diri-sendiri”.
Kondisi-kondisi seperti itu misalnya perumhan dan makanan yang memadai, tingkatan penidikan yang cukup,
serta kesehatan fisik dan mental yang baik. Spanjang jalur-jalur kondisi ini, tidak ada sesuatu
yang bertentangan dengan admiinistrasi negara, dan bahkan kondisi-kondisi seperti itu misalnya
perumahan dan makanan yang memadai, tingkatan pendidikan yang cukup, serta
kesehatan fisik dan mental yang baik. Sepanjang jalur-jalur kondisi ini, tidak
ada sesuatu yang bertentangan dengan administrasi negara, dan bahkan
kondisi-kondisi seperti ini akan menunjang sosioterapi an kesejahteraan
inividual. Namun, penekanan konsititusional pada kebebasan positif kan
membutuhkan perubahan struktur, proses, dan pilihan nilai-nilai administrasi
negara.
5. Kultur dmiinistratif baru (new administrative culture)
Nilai-nilai gerakan “Administrasi Negara Baru
“ (ANB)Dalam hal ini masih relevan dan dapat menjadi potensi yang baik bgi
kombinasi antara tanggapan judisial dan konsep negara administratif. Suatu
kultur administratif baru bisa merupakan basis legitimasi bgi perwakilan rakyat
dan partisipasi dalam administrasi negara. Nilainilai prosedural dan keadilan
di sini lebih di utamakan ketimbang ekonomi dan efesiensi. Kewenagan hierarkis
dapat dikurangi melalui beberapa cara: judisialisasi administrasi negara,
hak-hak konstitusional dan legal para pegawai negeri yang lebih besar, dan
tuntunan bahwa para administrator publik harus secara individual bretanggung
jawab terhadap tindakan-tindakan keinasan mereka. Konsep-konsep seperti hak
atas perlakuan yang adil (right to
treament), birokrasi yang repsentatif, birokrasi representatif,atau
birokrasi kemanusiaan merupakan perwujudan dari model administrasi negara baru
untuk pengembangan keterkaitan antara kekuasaan kehakiman, administrasi dan
masyarakat luas.
Kelima
model interaksi di atas masing-masing punya keunggulan dan kelemahan, dan
kesemuanya punya peluang untuk diterapkan atau dikembangkan. Pada akhirnya
pilihan model akan tergantung kepada bagaimana keinginan para penyelenggara
pemerintah (legislatif maupun eksekutif), pejabat-pejabat teknis, para jaksa
dan hakim, serta kehendak masyarakat sendiri. Namun satu hal yang wajib
dipahami oleh para pejabat administratif ialah bahwa setiap model tersebut
mengandung pola penerapan nilai-nilai judisial yang berlain-lainan. Andai kata
suatu ketika rakyat secara menggebu mendesak diberlakukannya undang-undang
PTUN, misalnya, maka mungkin model pengembangan yang harus dipakai adalah perluasan
hak-hak individual, peningkatan fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Andaikata
kondisi pembuatan kebijakan publik menjadi tumpul akibat oposisi yang
berlebihan oleh kekuatan legal, maka model
judicial withdrawal mungkin
lebih tepat untuk dilaksanakan. Demikian pula andai kata masyarakat kelas bawah
merasa di tindas, kesejahtraan sosial kurang bagi, atau tanggung jawab aparat
publik terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dirasa kurang, maka model
kultur administrasi baru yang menekankan keadilan sosial akan lebih baik untuk
dilaksanakan. Contoh-contoh ini kembali menegaskan bhwa dalam pelaksanaan
tugas-tugas kedinasan para pejabat publik tidak mungkin terlepas dari
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Untuk mengendalikan dan mengawasi
pelaksanaan administrasi negara secara judisial pemerintah bersama-sama dewan
perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Seperti telah di uraikan, UU
No. 5 Tahun 1986 ini maksud untuk mengatasi perbenturan kepentingan atau
sengketa antara lembaga dan para pejabat pelaksana adminisrasi negara dengan
warga masyarakat. Dengan demikian tujuan peradilan tata usaha negara adalah
untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum
(rechtmatig) serta tepat menurut
undang-undang (wetmatig). Kecuali itu
pemerintah juga telah membentuk sarana yang akan menjamin bahwa lembaga atau
pejabat dapat melaksanakan tugas-tugas dengan tepat secara fungsional (elektif)
dan tepat secara ekonomis (efisien). Jika ketepatan menurut hukum dan
perundangan pengawasannya dilakukan bersama-sama aparat kehakiman sebagai
perangkat eksternal, maka untuk ketepatan prosedur, elektifitas, dan efesiensi
pengawasannya dilakukan secara internal melalui lembaga-lembaga pengawasan atau
badan pemeriksa. Telah di uraikan dalam bab IV bahwa aparat pengawasan dalam
jajaran birokrasi pemerintahan kita sudah cukup lengkap, mulai tingkat menteri
(MENKO EKUIN dan MENPAN), BPK , irjen bang, BPKB, inspektorat jendela di setiap
departemen, Itwilprop pada tingkat profinsi, sampai Itwilkap yang terdapat di
setiap daerah tingkat I. Sudah barang tentu keterkaitan antara lembaga atau
aparat publik dengan lembaga. Atau aparat pengawasan memiliki norma dan
etikanya sendiri. Salah satu penjabaran tentang norma umum pengawasan itu dapat
di lihat dari keputusan Mendagri No. 116 Tahun 1981 tentang pedoman pengawasan
umum di lingkungan departemen dalam negeri yng di sebutkan sebagai berikut.
a. Pengawasan tidak
mencari-cari keselahan, yaitu tidak mengutamakan mencari siapa yang salah,
tetapi apabilah ditemukan kesalahan, penyimpangan dan hambatan supaya
dilaporkan sebab-sebab dan bagimana terjadinya serta menemukan cara bagimana
memperbaikinya.
b. Pengawasan merupakan
proses yang berlanjut, yaitu dilaksanakan terus-menerus sehingga dapat
memperoleh hasil pengawasan yang
berkesinambungan.
c. Pengawasan harus
menjamin adanaya kemungkinan pengambilan koreksi yang cepat dan tepat terhadap
penyimpangan dan penyelengaran yang
ditemukan, untuk mencegah berlanjutnya keselahan dan atau penyimpangan.
d. Pengawasan bersifat
mendidik dan dinamis, yaitu dapat menimbulkan kegairahan untuk memperbaiki,
mengurangi atau meniadakan penyimpangan di samping menjadi pendorong dan
perangsang untuk menertibkan dan menyempurnakan kondisi objek pengawasan.
Selain norma umum pengawasa,
disebutkan pula norma umum pemeriksaan, dan norma laporan. Norma umum
pemeriksaan menunjukkan tentang kaidah-kaidah pokok bagi pemeriksaan secara
teknis. Ada delapan materi atau bidang pemeriksaan secara teknis. Ada delapan
materi atau bidang pemeriksaan yang harus diliputi, yaitu bidang
pemerintahan, kepegawaian, pertanahan
dan pertanian, keuanagan, pembangunan umum, pembangunan desa, social politik
serta ekonomi dan kesejahteran rakyat. Sementara itu norma laporan menentukan
tentang tata cara pembuatan laporan pengawasan dan pemeriksaan.
Untuk menciptakan system
administrasi pemerintahan yang tertib, mencegah kebocoran uang Negara, serta
menjamin efektivitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki
pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas
tinggi. Pemeriksa yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan, secara
individu atau setidak-tidaknya secara kolektif, harus mempunyai keahlian /
kemampuan teknis yang diperlukan dalam bidang tugasnya, menurut Sujamto, ada
tiga jenis keahlian yang diperlukan bagi setiap pengawasan atau pemeriksa,
yaitu keahlian tentang objek pengawasan, keahlian tentang teknik / cara
pengawasan, dan keahlian menyampaikan hasil pengawasan. Yang dimaksud keahlian
tentang objek pengawasan ialah pengetahuan tentang standar yang berlaku bagi
objek pengawasan yang bersangkutan. Seorang pengawas proyek pembagunan fisik
harus memahami betul standar proyek mulai dari rencana (DIP, desain, bistek,
rencana kerja, surat kontrak, dan sebaikny), keuntungan-keuntungan yang menyangkut
prosudur, administrasi sampai dengan keungannya. Seorang pengawas administrasi
kepegawaian harus ahli betul dalam hal administrasi kepegawaian. Setiap
pemeriksa harus memiliki keahlian yang memandai objek yang mesti diperiksa.
Keahlian tentang teknik pengawasan mensyaratkan seorang pemeriksa agar dalam
waktu yang terbatas memperoleh data dan informasi yang maksimal (kuantitas
maupun kualitas) tentang objek yang diperiksa. Pemeriksa hanya akan dapat
menarik kesimpulan dan menyajikan laporan yang baik jika data yang diperolehnya
lengkap dan anaisisnya akurat. Sementara itu keahlian menyampaikan hasil
pengawasan ialah keahlian untuk menyajikan hasil pemeriksaan kepada dua jalur
penyampaian secara baik, yaitu kepada atasan pemeriksa dan pihak diperiksa. Banyak
temuan yang sebenarnya cukup berharga, berbobot dan perlu ditindaklanjuti,
tetapi tidak mendapat penanganan semestinya karena pimpinan tidak dapat
menangkap secara utuh pesan yang disampaikan pemeriksa dalam laporannya. Di
dalam pemyampaian laporan atau yang disebut sebagai forum exit briefing para
pemeriksa dituntut memiliki kemahiran berbahasa, ketepatan laporan dan
keterampilan mengungkap fakta.
Dengan melihat
persyaratan-persyaratan yang diperlukan bagi seorang pengawas ini, tampak
bahwah seorang pengawas harus benar-benar andal secara teknis, kognitif, maupun
idealnya seorang pengawasan harus lebih mumpuni dari pada diawasi. Sayangnya,
dalam system administrasi Negara kita masih sering dijumpai para pengawasan
yang belum memenuhi persyarat-persyaratan diatas. Banyak pengawas yang tidak
memahami standar proyek yang diawasi, kurang memiliki pengetahuan teknis yang
memandai, atau bahkan tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk melakukan
pengawasan dan pemeriksaan. Di samping itu, banyak pula para pengawasan yang
mungkin secara teknis cukup ahli tetapi secara mental kurang baik.
Pengawas-pengawas seperti ini jelas akan cenderung membelokkan tujuan
pengawasan itu sendiri karena ia mudah goyah pendiriannya sehingga mau “bekerja
sama” dengan aparat yang diawasi untuk memanipulasi laporan pemeriksaan. Tentu
saja ini bukan pula tipe pengawasan yang dikehendaki. Maka peryaratan dalam
mencari pengawas yang baik memang tinggi, seorang pengawas harus memiliki 5A:
akhlak, amal, asih, arif, dan ahli.
Dalam menjalankan tugas-tugas
pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Di atara
kualitas batin tersebut adalah sikap
sangsi (suspicious mind), ingin tauh
lebih banyak (inquisitive mind), dan
akurat (accurete). Sikap sangi disini
bukan berarti kecurigaan yang tak beralasan, melaikan suatu sikap hati-hati
dalam menyaring, menimbang, dan menyimpulkan data serta informasi.
Keingintahuan berti bahwa pengawasan harus selalu berusaha mencari data
sebanyak-banyaknya tentang objek yang diawasi. Daya logika dan analisis jelas
diperlukan bagi pengawas supaya dia dapat menarik kesimpulan yang tepat dan
jelas. Dan kemudian sikap akurat berarti kualitas untuk bertindak secara teliti
dan cermat karena bagimanapun juga tugasnya menyangkut harta uang Negara.
Untuk pelaksanaan tugas sehari-hari
para pegawasi negeri maupun pejabat pemerintah, sesungguhnya mekanisme
pengawasan telah dibuat secara inheren dalam organisasi yang bersangkutan.
Proses penilaian pengawai itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sarana pengawasan
langsung sehingga kalau itu didayagunakan akan dapat mencegah tindakan-tindakan
menyimpang. Melalui keputusan pemerintah no. 67 tahun 1980, misalnya, telah
diatur tentang kedudukan badan pertimbangan kepegawaian bagi instansi-instansi
pemerintah.
Pengambilan berbagi unsure
instansional untuk tergabung dalam badan pertimbangan kepegawaian dimaksudkan
supaya pengawasan dan penilaian prestasi pengawasi atau pejabat benar-benar
valid dan tidak terjadi tolak ukur yang berat sebelah. Dengan menyusun matriks
penilaian pejabat berdasarkan pertimbangan berbagai unsur pemerintah,
ketentuan-ketentuan mengenai sanksi, muntasi, maupun promosi akan dapat
ditetapkan dengan landasan yang tepat. Namun seperti halnya setiap proses
penilaian tetap tergantung kepada konsistensi dan objektivitas dari pada subjek
penilai sendiri. Intersubjektivitas memang dapat dijadikan sarana memperoleh
penilaian yang objektif, tetapi hal itu tetap tidak akan didapat jika semua
penilaian sudah tidak objektif lagi. Karena itu kejujuran, kecermatan, dan
keahlian dalam menilai proses dan aparat administrasi merupakan hal yang paling
mendasar.
B. Etos Kerja
Pembicaraan
yang berkadang filosofis dan sesiologis akan banyak dilibatkan kalau orang
membahas tentanng etos kerja namun sayang sekali bahwa tidak banyak tulisan yang membahas persoalan etos kerja
dalam birokrasi pemerintahan dengan pendekatan-pendekatan empiris. Hal ini
dapat dipahamai karena memang topik etos kerja
manyangkut sistem nilai yang
dianut oleh sekelompok orang tambahan lagi pekerjaan-pekerjaan
administratif memang tidak hanya menyangkut
pekerjaan-pekerjaan fisik tetapi juga menyangkut proses berpikir dan
mengambil keputusan. Oleh karena itu penilaian tentang etos kerja
seringkalitidak selalu dapat dihubungkan dengan hal-hal yang tampak dari luar.
Meski demikian pembahasan yang disertai
rujukan empiris akan sangat bermanfaat karena mempermudah pemahaman dan
memperkaya khasana evaluatif dalam menilai etos kerja dalam suatu komunitas.
Menurut Geertz etos kerja adalah
sikap yang mendasar terhadap diri dan aspek evaluatif yang bersifat menilai
dengan demikian yang dipersoaalkan dalam pengertian etos kerja dan kemungkinan
sumber motivasi seseorang yang dalam pekerjaan di anggap sebagai keharusan demi
hidup apakah pekerjaan terikat pada diri sendiri atau (dalam lingkungan
empiris) apakahyang menjadi sumber pendorong partisipasi dalam pembangunan etos
kerja juga merupakan ide, cita, atau pikiran yang akan menentukan sistem
tindakan ( system of action). Karena
etos menetukan penilaian manusia
atas suatu pekerjaan dia akan menentukan
pula hasil-hasilnya. Semakin progresif etos kerja suatu masyarakat,semakin baik
hasil-hasil yang akan di capai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Sebagian analis menguraikan bahwa
sumber utama bagi etos kerja yang baik adalah keyakinan religius,dan agaknya
memang terdapat hubungan yang signifikan antara ajaran-ajaran agama dengan etos
kerja suatu masyarakat. Tesis Max Weber yang berjudul The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism merupakan tulisan yang begitu terkenal sebagai telaah
yang menghubungkan etika agama Protestan dengan kemajuan di negara-negara
barat. doktrin-doktrin dalam agama Kristen Protestan menekankan pentingnya
pekerjaan sebagai suatu panggilan jiwa bagi manusia sehingga kerja merupakan
kewajiban hidup yang sakral. Salah satu ayat dalam kitab injil mengatakan
mutuum date nihil inde sperantes (Lukas 4:35) yang terjemahannya berarti :
“Hendaknya kamu saling memberi tanpa mengharapkan sesuatu”. Konsep-konsep ini
untuk sebagian besar telah mendasari sikap hidup prang barat yang
ulet,hemat,berpikiran rasional,kontrol diri,kerja keras,dan jujur. Di dalam
agama islam juga terdapat konsep-konsep yang merupakan acuan bagi etos. Agama
islam menggariskan syariah (hukum sakral) sebagai sumber aturan dalam
berperilaku beserta konsep marja’i taqlid (sumber panutan) yang mengajarkan
kesetiaan dan ketekunan. Di samping itu,terdapat pula prinsip-prinsip yang
mengajarkan kerja keras,seperti di sebutkan dalam salah satu ayat suci : “Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum sampai mereka berusaha mengubah nasib mereka sendiri”
(Al-Quran. 13:11). Bagi para pemeluk agama Hindu,ajaran yang terkandung dalam
dharma merupakan dasar bagi etos kerja mereka. Masyarakat Hindu punya kewajiban
untuk menaati hukum karmayoga,suatu norma yang menyatakan bahwa kerja sesuai
dengan swadharma masing-masing merupakan inti dari yadnya (ibadah).
Keberhasilan bangsa Jepang dalam
mengembangkan teknologi dan membangun ekonomi dalam waktu yang relatif singkat
untuk sebagian disebabkan oleh etos kerja masyarakat Jepang yang sangat
menunjang pembangunan. Jika di tilik dari sistem agama atau kepercayaan mereka, ternyata bangsa Jepang
memang mempunyai landasan etis yang mementingkan loyalitas dan kerja keras.
Shintoisme dan Buddhisme Zen mengajarkan bahwa hal yang paling utama di dalam
hidup seseorang adalah ketekunan dan loyalitas pada pekerjaan. Di samping
itu,terdapat pula nilai-nilai sakral, yang sangat di pegang dan di hormati
oleh bangsa Jepang yang terkandung dalam konsep giri (kewajiban),bungen
(status), (kehormatan), dan juga jisei
(semangat tentang waktu). Nilai-nilai itulah yang selama ini mendasari
kecintaan kerja orang Jepang serta keberhasilan pembangunan ekonomi. Kini kita
juga melihat perkembangan negara-negara industri baru yang di sebut sebagai The
Four Small Dragons of Asia, yaitu Hongkong, Korea, Singapura, dan Taiwan. Pandangan
hidup yang menjadi dasar hidup bagi masyarakat di negara-negara ini adalah
Konfusianisme. Inti dari ajaran Konfusianisme ternyata menguraikan keutamaan
loyalitas, nasionalisme, kolektivitas sosial, dan kepentingan akan teknologi
(technological interest). Masyarakat di
keempat negara tersebut juga percaya bahwa kesejahteraan ekonomis merupakan
sarana untuk mencapai status yang lebih tinggi dan ketentraman spiritual.
Perilaku mereka berpedoman pada ajaran chu (loyalitas) dan ko (kesantunan
keluarga). Ajaran-ajaran inilah yang membuat mereka sangat memperhatikan
masalah-masalah ekonomis, kesejahteraan keluarga, dan perbaikan masa depan.
Lepas
dari berbagai akses yang mungkin terjadi oleh konsep dan ajaran" tersebut,
tampaklah bahwa nilai" dan etos suatu komunitas akan menentukan
aspek" progresif mereka suatu masyarakat akan bergerak ke arah kemajuan
kalau mereka memang menghendakinya dalam hal ini etos kerja berperan sangat
penting sebagai dasar dari kehendak seperti itu.
Di
samping berasal dari nilai" religius,etos kerja juga berasal dari
nilai" budaya serta sikap hidup suatu masyarakat. Masyarakat barat
berhasil mengembangkan industri dengan garis sebagai dasar utamanya karena cara
berpikir mereka yang cenderung merasionalkan persoalan masyarakat jepang
demikian pula mereka tidak ragu" untuk belajar dan meniru dari orang lain
sepanjang itu bermanfaat dan tidak merugikan mereka.
Bangsa
indonesia sesungguhnya telah memiliki pijakan yang kuat untuk membina etos
kerja yang menunjang kemajuan. Di samping sikap hidup yang religius,bangsa
indonesia mempunyai pancasila sebagai dasar" nilai luhur yang tak pernah
kering. Konsep" yang serupa dengan dasar" etika kerja seperti telah
disebutkan di atas telah pula kita miliki, seperti budi pekerti, gotong royong,
dan pengadilan. Kini tinggal bagaimana kita memanfaatkan gagasan".
Pembangunan. Pengamalan dan penghayatan budaya pancasila dan usaha untuk
memasyarakatkannya tidak dapat di pisahkan dari pengembangan kesadaran kritis
karena dengan kesadaran kritis itulah ideologi dapat menjadi gejala kebudayaan
yang bermakna. Tanpa kesadaran budaya kritis, pancasila akan menjadi tidak
operasional, akan menjadi kata" yang kehilangan dimensi aksinya kata"
yang terlepas dari perbuatan atau pengamalan maka dengan kesadaran kritis serta
upaya" untuk menerjemahkan makna yang terkandung dalam pancasila dalam
gagasan" pembangunan yang sesungguhnya, kita akan memperoleh dinamika
dalam pemikiran maupun perbuatan. Tujuan pembangunan seperti yang terkandung dalam
ungkapan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya hendaknya
tidak terhenti dalam refleksi yembal melainkan juga dalam aksi riil. Dan untuk
melaksanakan aksi" riil yang berkaitan langsung dengan kemajuan dan
pembangunan dalam segala aspeknya,penyempurnaan dan pengembangan etos kerja
para pejabat publik haruslah dilaksanakan tanpa henti bagi seorang pegawai
negeri atau pejabat pemerintah etos kerja yang baik bukan saja akan
menghasilkan sikap" produktif seperti kerja keras jujur berperhitungan dan
hemat tetapi juga akan menciptakan mekanisme kendali diri (inner check) guna
menghadapi berbagai persoalan dalam tugas kedinasan maupun mengatasi godaan dan
iming-iming dari luar.
Apabila panggilan dasar" etos kerja itu
dilaksanakan secara konsisten,maka dapat diharapkan bahwa di antara para
pejabat publik akan tumbuh semangat humanisme untuk bekerja keras bagi
masyarakat luas dengan kesetiaan kepada negara yang utuh. Dalam keadaan seperti
itu setiap perencanaan pembangunan beserta implementasinya akan berjalan sesuai
keinginan bersama lebih dari itu para pejabat atau pegawai akan
mendapatkan kepuasan yang maksimal dari pekerjaan mereka karena dalam bekerja mereka tidak pernah
setengah-setengah dengan keyakinan tidak ada pengorbanan yagn sia-sia. Etos
kerja menjadi kekuatan spiritual bagi segala macam pekerjaan dalam birokrasi
pemerintahan kekuatan penggerak itu bersifat otonom dan menjadi semacam
“idiologi birokrasi” sehingga segenap aparat akan bekerja sungguh-sungguh tanpa
dorongan dari luar. Seluruh sumber daya segalah yagn berasal dari rakyat akan
dapat dimanfaatkan untuk kesejahtraan
bersama dan kemakmuran bersama.
Pengambaran
diatas mungkin terlalu idealis kalau kita melihat praktik pelaksanaan
tugas-tugas layanan umum dalam birokrasi kita. Harus diakui bahwa tidak setiap
pejabat memiliki kadar altruisme atau pemahaman tentang nilai pengabdian yang
sama, dan setiap orang harus mencukupi kebutuhan keluarganya disamping
kewajiban untuk melayani umum. Akan tetapi justru dengan idealisme seperti
itulah sesungguhnya kita masi akan bisa berharap banyak bagi pembangunan dan
peningkatan kemakmuran rakyat melaui
layanan dan tata kerja birokrasi.banyak orang beranggapan bahwa penyabab
mengapa pegawai swasta punya semangat kerja lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pegawai negeri adalah karena
imbalan material yang lebih tinggi, bahwa etos kerja dapat dibeli dan punya kaitan erat dengan komersialisasi.
Namun, persoalannya ialah bahwa komersialisasi yang dipengaruhi konsumerisme
itu pun sebenarnya telah melanda sebagian aparat negara kita. Jika seorang clerk tiba sangat bersemangat dalam bekerja karena dia telah mempeoleh pelicin dari seorang warga
masyarakat, bukankah itu termasuk komersialisasi jabatan? Jika seorang pejabat
sangat giat dalam bederma dan melakukan rehabilitasi sosial hanya karena ingin supaya orang-orang mencalonkan dia
kembali untuk jabatan tertentu, apakah
itu etos kerja yang kita harapkan? Tentunya yang kita harapkan adalah etos
kerja yagn benar-benar murni, yang tidak dikotori oleh kepentingan-kepentingan
individu yang tersembunyi. Etos kerja yang dalam sanubari setiap pegawai
pemerintah sehingga kehendak untuk
bersifat jujur cermat, dan menghargai waktu
akan menjadi hukum tak tertulis(jus non-scrtiptum)bagi pelaksanaan tugas-tugas
mereka. Produktifitas aparatur
pemerintah akan dapat ditingkatkan terus karena setiap komponen yang
terdapat dalam birokrasi berlomba –lomba untuk mendapatkan sesuatu yang
bermanfaat bagi masyarakat.
Organisasi-organisasi
pemerintah akan meraih produktivitas yang tinggi andaikata jam kerja formal
yang jumlahnya sekitar 40 jam seminggu itu benar-benar diisi aktivitas-aktivitas
dengan etos kerja yang baik. Hendaknya diingat pula bahwa produktivitas bukan
hanya dalam pengertian fisik melaikan termasuk produktivitas kognitif. Produktifitas kognitif dapat
dilihat dari banyak inisiatif dan kreativitas aparat untuk menghasilkan layanan
umum yang efisien dan sekaligus memajukan organisasi. Ini patut diperhatikan
oleh para administrator dan birokrat karena pada sebagian besar instansi
perintah, banyak fakta yang menujukkan adanya kemiskinan inisiatif dalam proses
manajerial maupun dalam tugas-tugas teknis. Kemiskinan inisiatif dapat
disebabkan karena kurangnya kesempatan yang diberikan oleh atasan kepada bawahannya
untuk mengambil prakarsa, tetapi dapat juga disebabkan karena memang rendahnya
motivasi para pengawai untuk bekerja secara lebih baik. Salah satu cara
memecahkan masalah ini adalah dengan mengkondisikan supaya organisasi lebih
mementingkan produktivitas dia atas yang lain.
Bila
beberapa pedoman kerja untuk membangkitkan etos kerja ini dirangkum, ada dua
pengertian pokok yang perlumdi upayakan oleh setiap pejabat atau pegawai
pemerintah yaitu pengembangan diri (self development) dan peningkatan diri
(self improvement). Pengembangan diri merupakan suatu proses pendidikan diri
sendiri yang dilakukan seseorang denga cara mandiri, sedangkan peningkatan diri
merupakan usaha untuk selalu memperbaiki perilaku sehinggasesuai dengan nilai
nilai moral dan etika yg berlaku dibidang administrasi pemerintah. Selain itu,
etos kerja yang baik masyarakat cinta kepada pekerjaan tebal tipisnya kecintaan
pada pekerjaan akan menentukan apakah seorang pejabat diliputi oleh semangat
mengambil ataukah semangat memberi sudah tentu dikendali oleh etika adalah
semangat member sebanyak-banyaknya pada organisasi maupun pada masyarakat umum.
Telah
terjadi fenomena umum bahwa kendala untuk meningkatkan etos kerja dalam
organisasi public ialah kurang mapannya ukuran untuk menilai produktifitas
pegawai. Barang kali kita perlu mengingat lagi bahwa penekanan pada efektifitas
dengan mengorbankan efisiensi sama sekali bukan gagasan yang baik dalam rangka
meningkatkan produktifitas. Hal ini diperlukan bagi organisasi-organisasi pemerintah
sekarang ini adalah pandangan yang sistematis untuk mencanangkan program
produktifitas tanpa menghilangkan daya tangkap kebutuhan masyarakat. Manajemen
public yg modern membutuhkan pengukuran produktifitas dan auditing, manajemen
tenaga kerja, insentif yang dikaitkan dengan kinerja, pelatihan untuk
meningkatkan produktifitas, serta sarana-sarana baru untuk membandingkn
besarnya investasi dengan hsil yang diperoleh.
Asumsi bahwa produktifitas organisasi
pemerintahan tidak dapat di ukur
hendaknya di buang jauh-jauh. Kata
telah memiliki kantor-kantor Akutan Publik, Biro Pusat Statistik, beserta
seluruh lembaga pengawasan yang bersifat structural maupun fungsional. Semuanya
dapat dimanfatkan untuk mengukur sampai di mana produktivitas lembaga-lembaga pemerintah
kita. Pemanfaatan data rangkaian waktu (time
series), identifikasi target penyempurnaan lembaga, delegasi tanggung jawab
operasional kepada tingkat manajemen yang lebih rendah, analisis yang
mengkaitkan antara alokasi sumber daya dan hasil kebijakan, analisis biaya
manfaat, dan sebagainya merupakan contoh cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
MAAF, KESIMPULANNYA MENURUT
PEMAHAMAN MASING MASING SAJA
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed.). 1979. Agama, Ethos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi.
Jakarta : LP3ES
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Jakarta : LP3ES.
Alatas, Syed Hussein. 1987. Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta : LP3ES
Wahyudi
Kumoroto, Etika Administarsi Negara. Jakarta
sebutsajarendy.blogspot.co.id