Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Januari 2016

Torang Nyanda Tako


Hay sobat, beberapa hari yang lalu public Jakarta dan Indonesia di gemparkan dengan pengeboman di Sarinah, Jakarta. sehingga menjadi trending topic di twitter dengan hastag #JakartaKuat, #kamitidaktakut, dan lain sebagainya..


Selang beberapa hari, tepatnya hari sabtu pagi (16/1/2016) di depan  Masjid Ahmad Yani Kota Manado, digegerkan dengan penemuan benda misterius oleh seorang petugas kebersihan.  Ia langsung menghubungi pihak kepolisian dan beberapa saat kemudian rombongan polisi dan gegana sampai di TKP. Setelah di selidika bahwa benda asing itu hanyalah berupa potongan kabel dan aki bekas yang sengaja di buat sedemikian rupa agar menjadi suatu sensasi. Walaupun hanya sekumpulan kabel dan aki bekas, tetapi itu sudah termasuk dalam katagori terror, apalagi di depan tempat ibadah. Setelah kejadian itu munculah hastag serupa tapi dengan bahasa local #torangnyandatako yang merupakan bentuk keberanian warga kota manado dlm menghadapi segala bentuk dan macam terorisme. Karna orang manado begitu kuat dan saling menjaga satu sama lain walaupun berbeda suku, agama, etnis dan sebagainya karna TORANG NYANDA TAKO…

Rabu, 13 Januari 2016

Makalah Etika Adm : Administrasi, Nilai-nilai Judicial, dan Norma Pengawasan dalam suatu Etos Kerja

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembuatan keputusan merupakan penompang utama kegiatan administrasi. Sebagi besar proses administrasi berupa serangkaian pemelihan alternatif tindakan atau pengambilan kebijakan.
Merupakan yang utama dalam melaksanakan pekerjaan adalah keunggulan budi dan keunggulan karakter yang menghasilkan kerja dan kinerja yang unggul pula. Tentunya, keunggulan tersebut berasal dari buah ketekunan seorang manusia Mahakarya. Kemampuan menghayati pekerjaan menjadi sangat penting sebagai upaya menciptakan keunggulan. Intinya, bahwa saat kita melakukan suatu pekerjaan maka hakikatnya kita sedang melakukan suatu proses pelayanan. Menghayati pekerjaan sebagai pelayanan memerlukan kemampuan transendensi yang bersifat melampaui ruang gerak manusia yang kecil. Hal ini semua dapat terlihat dan tertuang dalam etos kerja.
Etika dalam pelaksanaan administrasi publik menjadi salah satu masalah yang menjadi kelemahan dasar dalam pelaksanaan administrasi di Indonesia. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia administrasi. Padahal, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan public sekaligus sebagai keberhasilan organisasi administrasi itu sendiri. Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap pelayanan public mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi, pelayanan untuk mencapai tujuan akhir pelaksanaan administrasi.
Etos kerja dikatakan sebagai faktor penentu dari keberhasilan individu, kelompok, institusi dan juga yang terluas ialah bangsa dalam mencapai tujuannya. Pada pelaksanaan administrasi publik juga dipengaruhi oleh etos kerja yang dimiliki oleh pejabat-pejabat publik dalam tugasnya menyelenggarakan kebutuhan masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang Administrasi, nilai-nilai judisial dan norma pengawasan dalam suatu Etos Kerja maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga kami membuat rumusan masalah sebagai berikut

C.    Tujuan dan manfaat penulisan
Tujuan disusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugasa Mata Kuliah Etika Administrasi Publik dan menjawab pertayaan-pertayaan yang ada pada rumusan masalah.
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk adalah untuk meningkatkan pengetahuan kami dan pembaca tentan Administrasi, Nilai-nilai Judicial, dan Norma Pengawasan dalam suatu Etos Kerja.
D.    Metode Penulisan
Penulisan memakai metode studi literature dan kepustakan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku, tetapi juga dari media-media lain seperti seperti e-book, web, blog dan perangkat media massa yang diambil dari internet. 

BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Administrasi

1.      Menurut Ulbert, “Administrasi secara sempit didefinisikan sebagai penyusunan dan pencatatan data dan informasi secara sistematis baik internal maupun eksternal dengan maksud menyediakan keterangan serta memudahkan untuk memperoleh kembali baik sebagian maupun menyeluruh. Pengertian administrasi secara sempit ini lebih dikenal dengan istilah Tata Usaha”
2.      Menurut William Leffingwell dan Edwin Robinson, “Administrasi adalah cabang ilmu manajemen yang berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan perkantoran secara efisien, kapan, dan dimana pekerjaan itu harus dilakukan.”
3.      sedangkan, menurut WH Evans “Administrasi adalah fungsi yang menyangkut manajemen dan pengarahan semua tahap operasi perusahaan mengenai pengolahan bahan keterangan, komunikasi, dan ingatan organisasi.”
4.      Menurut George Terry, “Administrasi adalah perencanaan, pengendalian, dan pengorganisasian pekerjaan perkantoran, serta penggerakan mereka yang melaksanakannya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan.”
Pada pengertian di atas, terdapat dua perbedaan pengertian administrasi yaitu :
a.      Administrasi dalam arti sempit
Menurut Soewarno Handayaningrat mengatakan “Administrasi secara sempit berasal dari kata Administratie (bahasa Belanda) yaitu meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketki-mengetik, agenda dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan”(1988:2).
b.      Administrasi dalam arti yang lebih luas
Menurut The Liang Gie mengatakan “Administrasi secara luas adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu”(1980:9).
B.     Pengertian nilai
Nilai merupakan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain guna menentukan keputusan.
1.      Pengertian nilai menurut Kimball Young Nilai ialah asumsi abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting.
2.      Pengertian nilai menurut A.W. Green Nilai adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek
3.      Pengertian nilai menurut Woods Nilai merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.

C.    Pengertian Norma
Dari segi bahasa Norma berasal dari bahasa inggris yakni norm. Dalam kamus oxford norm berarti usual or expected way of behavinyaitu norma umum yang berisi bagaimana cara berprilaku.
Norma adalah patokan prilaku dalam satu kelompok tertentu, norma memungkinkan sesorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai oleh orang lain, norma juga merupakan kriteria bagi orang lain untuk mendukung atau menolak prilaku seseorang.
Norma juga merupakan sesuatu yang mengikat dalam sebuah kelompok masyarakat, yang pada keselanjutannya disebut norma sosial, karena menjaga hubungan dalam bermasyarakat. Norma pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan, karena awal dari sebuah budaya itu sendiri adalah intraksi antara manusia pada kelompok tertentu yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang disebut norma.
D.    Pengertian Pengawasan
Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut. Controlling is the process of measuring performance and taking action to ensure desired results. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan . The process of ensuring that actual activities conform the planned activities.
Menurut Winardi “Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan”. Sedangkan menurut Basu Swasta  “Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan”. Sedangkan menurut Komaruddin “Pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal Unk langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti”.
Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan atau pemerintahan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan atau pemerintahan. Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan suatu perencanaan. Dengan adanya pengawasan maka perencanaan yang diharapkan oleh manajemen dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik.
E.     Pengertian Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat .
Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok.
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
a.      suatu aturan umum atau cara hidup
b.      b. suatu tatanan aturan perilaku.
c.      c. Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku .

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Administrasi, Nilai-Nilai Judisial, Dan Norma Pengawasan
Pembuatan keputusan merupakan penoman utama kegiatan administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternatife tindakan atau pengambilan kebijakan. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali  sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, pertimmbangan efsiensiterkadang tidak memungkinkan bagi para pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Karena itulah para pejbat pemerintah dituntun untuk mampu menjawab persoalan-persolan secara pramatis.
Pertimbangan lain untuk mengambil keputusan-keputusan pragmatis ialah kenyataaan bahwa rumusan-umusan legal yang ada capkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Jarang sekali terdapat permasalahan yang secara esensial sama. Masalah-masalah dating silih-berganti dan tidak akan pernah ada elemen masalah yang benar-benar dapat ditangani dengan cara yang sama. Setidak-tidaknya saat timbulnya masalah, pihak-pihak yang berkepentingan, rentang waktu untuk pembuat keputusan, serta suasana ekonomis, social, dan politik yang dihadapiakan senantiasa berbeda. Di samping itu, masyarakat sendiri kadangkala menilai keunggulan seorang pejabat dari kebenarannya mengambil keputusan pada saat yang tepat, mereka lebih mengharapkan tindakan-tindakan yang nyata dari pada retorika dan orientasi legalitas. Oleh sebab itu, dari sisi ini keputusan-keputusan pragmatis mempunyai legitimasi yang kuat.
            Namun demikian, orientasi kepada ancangan pragmatis juga dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang berbahaya. Hanya karena waktu yang mendesak atauuntuk memburu reputasi, banyak pejabat publik yang kemudian mengambil keputusan tanpa menghiraukan kaidah-kaidah hokum atau peraturan yang berlaku. Akibat dari keputusan-keputusan yang tergesa-gesa atau bahkan gegabah itu adalah justru semakin parahnya masalah-masalah baru. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat public terkadang kurang bias melihat keseluruhan aspek yang terkait dengan suatu permasalahan public. Keputusn-keputusan yang dihasilkan lebih merupakan proferensi individual meskipun peraturan atau kaidah yang mengatur tatacara  penyelesaian masalah itu sudah digariskan secara jelas. Lebih dari itu, pembuatan kebijakan pragmatiskebanyakan hanya merupakan penyelesain coba-coba(trial anderror)
            Untuk itu dalam mengambil kebijakan-kebijakan public para pejabat punya keajiban agar senantiasa merujuk kepada nilai-nilai judisial yang berlaku. Istilah judisial senagaja dipakai di sini untuk menekankan bahwa yang penting bukan sekedar acuan hokum-hukum formal atau system perundangan yang berlaku melainkan nilai-nilai keadilanyang dianut dalam  ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Menafsirkan dan merumuskan nialai-niali judisial secara tepat  merupakan tugas yang sulit karena orang yang dianut untuk memahami konteks budaya, menyelami prrsepsi hokum dan kesadarn politis masyarakat, dan mengikuti perkembangan aspirasi rakyat. Namun itulah yang sesungguhnya merupakan sumber legitimasi kebijakan public yang utama dalam arti etis maupun juridis.
            Maka dalam menjalankan tugas-tugsnya para pejabat pemerintah selalu berada di tengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu menyeimbangkan antara preferensi pribadi, kemauan pembuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat dia mengabdi.
     Oleh karena itu, keputusan-keputusan yang dibuat pada akhirnya merupakan kompromi anatara preferensi individu dengan preferensi umum yang kesemuanya diharapkan memakai landasan etika yang benar. Untuk membuat  keputusan, seorang pejabat memiliki keleluasaan (discretion) tetapi juga sekaligus mengahadapi kendala atau batasan(constraint). Jika ditinjau dari posisi lembaga biriokrasi, terdapat pula pengertian control internal (dari dalam lembaga) dan control eksternal (dari luar lembaga).
     Tampak bahwa keputusan-keputusan administrative tidak pernah, dan tidak akan pernah, berdiri sendiri. Hasil akhir dari keputusan yang baik biasanya merupakan kristalisasi dari kepemimpinan yang baik, profesionalisme, penyesuaian dengan system dan prosedur, pengalaman pribadi serta kemampuanpersuasi pejabat yang bersangkutan .kegagalan yang banyak dialami oleh orang yang berorientasiakademis dan mengandalkan ketaatan pada profesi dan prosedur ialah bahwa dia terlalu kaku dalam menerapkan peraturan, kurang memiliki ketrampilan persuasi, dn lamban dalam bertindak. Sebaliknya kegagalan orang yang berorientasi pragmatis disebabkan karena dia sering tidak memperhatikan kaidah hokum, tidak memiliki lndasan ynag jelas dalam mengambil keputusan, kurang demokratis, tidak memperhatikan stabilitas organisasi, dan wawasannya sempit. Oleh karena itu, pembuatan keputusan yang baik harusnlah seorang akademis dan sekaligus praktisi, seorang generalist yang sekaligus specialist. Selain itu, seorang pembuat keputusan public harus senantiasa memerhatikan  nilai-nilai judisial yang antara lain dapat dilihat dan pernyataan-pernyataan berikut.
1.      pengusaan urusan-urusan public mewajibkan bahwa para politisi dari pejabat public bekerja sesuai dengan keinginan public(masyarakat) dan bukan berdasarkan persepsi mereka tentang keinginan masyarakat tersebut.
2.      urusan-urusan public membutuhkan instansi yang tersentralisasi. Tentu saja sentralisasi kekuasaandi sini mengandung konsekuensi tanggung jawab moral.
3.      peraturan institusi-institusi pemerintah terhadap masyarakat mayoritas warga Negara bukanlah peraturan absolut. Yang berlaku dalam hal ini adalah kontrak social atau pendelegasian otoritas antara kelompok mayoritas (masyarakat) kepada kelompok minoritas (aparatur Negara).
4.      pelaksanaaan urusan-urusan public harus berakar pad hokum. Hokum dapat ditegakkan kalau tindakan-tindakan pejabat public sesuai dengan kehendak rakyat.
5.      pejabat-pejabat public harus menyadari bahwa tidak semua kasus konkret termuat dalam pasal-pasal hokum. Namun, kebebasan bertindak harus dilakukan untuk mengahasilkan jurisdiksi-jurisdiksi yang memperkuat hukuman itu sendri.
6.      pejabat-pejabat public bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan yang berdasarkan preferensi dan wawasannya. Dalam hal ini tanggung jawabmasyarakat pref erensi dan wawasannya. Dalam hal ini tanggung jawab menyangkut preferensi untuk melakukan Sesutu (action) atau tidak melakukan sesuatu(inaction).
            Kaidah normative yang utama dengan demikian adalah kesadaran vbahwa sumber legitimasi kebijakan public adalah kehendak rkyat. Rakyat menyerahkan sebagian hak-haknya kepada administrator public dengan harapan bahwa aparat-aparat Negara itu akan mengambil kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi seluruh rkyat tanpa terkecuali. Keberadaan oraganisasi publik bermula dari kepercayaan rakyat,public office is a public trust.
Perkembangan  system  ketatanegaraan di seluruh  dunia  selama  setengah  abad  terakhir menunjukkan meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Terdapat kecenderungan di setiap Negara bahwa kekuasaan atas Negara hendak dikembalikan kepada sumber aslinya, yaitu rakyat. Argumentasi ini dapat dibuktikan dari tiga wujud perkembangan atau perubahan pada kebanyakan Negara modern dewasa ini. Perkembangan yang pertama adalah upaya perlindungan konsitusional yang lebih besar terhadap individu-individu atau hak-hak kerakyatan dalam deklarasi konsitusi mereka. Deklarasi mengenai hak-hak warga Negara tersebut terjabar baik dalam bentuk Piagam Magna Charta, Biil of Rights, atau pembukaan seprti dalam Undang_Undang Dasar Negara kita. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi itu antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta ha katas perlindungan konsitusi secara umum, Negara juga disyaratkan untuk melindungi kehidapan warga Negara dalam arti khusus seperti perlindungan dari kriminalitas dan kejahatan, atau hak-hak yang yang bersifat procedural apabila warga berhubungan dengan lembaga-lembaga publik (procedural due process). Inilah yang pada dasarnya merupakan sumber pembatas atau sumber kendali bagi aktivitas administrative dalam wilayah-wilayah kebijakan publik.
            Perubahan legal yang kedua adalah ditetapkannya kaidah-kaidah judisial atau proses peradilan di dalam aktivitas administrasi Negara. Ketentuan-ketentuan mengenaipublic law litigation ini dimaksud sebagai sarana bagi keterlibatan lembaga-lembaga peradilan dalam aktivitas instusi-instusi publik. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dalam keterlibatan lembagan peradilan-peradilan tersebut. Pertama, tentu saja adalah terlindungnya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama pihak warga Negara yang kedudukannya yang lemah. Sementara itu, yang  kedua adalah manfaat yang diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tatakerja dalam institusi-institusi publik serta cara-cara pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya. Dalam kaitan ini Negara kita juga sudah memiliki undang-undang No. 5 Tahun 1986. Diberlakunya undang-undang ini secara konsekuen jelas akan merupakan penerapan nilai-nilai judisial dalam aktivitas administrasi Negara. Undang-undang yang disebut sebagai PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) ini telah memuat ketentuan yang mengenai kompetensi peradilan administrasi Negara, hokum acara administrative, jajaran kehakimannya, pemeriksaan sengketa administrative serta pembuktian perkaranya. Jadi sesungguhnya Indonesia telah mengantisipasi perubahan di bidang legalitas peradilan admiinistrasi. Persoalannya tinggal bagaimana keamanan politik untuk menerapkan pasal-pasal dalam undang-undang PTUN itu secara konsekuen.
            Kemudian, perkembangan sign ifkan yang ketiga ialah ekspresi tanggung jawab legal bagi administrator publik. Di dalam kerangka keterkaitan antara aparat-aparat judisial dengan para pejabat publik terdapat pergeseran asumsi yang semula mengatakan bahwa pejabat-pejabat publik memiliki kebebasan mutlak (absolute immunit) menuju kepada asumsi bahwa bmereka hanya memiliki kebebsan bersyarat (qualified immunity). Kebebasan mutlak oleh sebagian besar warga Negara dirasakan sering membawa akibat-akibat yang merugikan. Para pejabat kerapkali menyalahgunakan kedudukannya untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan. Hak-hak individu konstitusional yang seharusnya diperhatikan dan diakui oleh aparatur pemerintah justru dilanggar, dan tanggung jawab administrator publik terhadap kesejahteraan umum menjadi luntur. Yang lebih buruk lagi, pejabat kerapkali mengutamakan kepentingan pribadinyandengan mengatasnamakan tugas-tugas kedinasan. Ekses-ekses semacam inilah yang kemudian menumbuhkan kesadaran mayoritas akan perlunya membatasi hak istimewa pejabat-pejabat publik melalui konsepqualified immunity tadi. Para pejabat boleh menggunakan keleluasan untuk bertindak hanya apabila tindakan-tin dakan itu mengara kepentingan pembangunan atau sesuai dengan kepentingan umum. Di luar itu, kedudukan administrator sama dengan warga Negara yang lain sehingga setiap pelanggaran administratif maupun nonadministratif yang dilakukan oleh seorang pejabat tetap harus dikenai tindakan hokum.
            Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan system administrasi yang tertib dan bersih kerja sama antara lembaga-lembaga kehakiman dengan lembaga-lembaga adminiistratif sangat penting perannya. Hak-hak asasi warga Negara hanya dapat dijamin jika terdapat kaidah hokum yang menggariskannya semntara kesejahteraan warga Negara pun hanyadapat dijamin jika terdapat kebijakan-kebijakan administratif yang nyata.keseimbangan dan interaksi antar kedua sisi ancangan ini sangat diperlukan untuk mengatasi kontrdiksi-kontradiksi yang selalu akan terjadi.
            Ketegangan antar aparat judisial dan administrator publik terutama menyangkut hak-hak individual serta nilai-nilai kognitif dan ancangan evaluasi yang menjadi bahan informasi bagi administrasi Negara. Perkembangan teknologi informasi dan tata kerja administrasi modern, umpamanya, hampir-hampirtindak memberi peluang bagi privacywarga  Negara secara individual. Apabila interaksi antar lembaga pemerintah dengan warga Negara ini tidak diatur, maka sosok birokrasi pemerintah akan biasa berubah menjadilevieathan yang dengan congkak mencerabbut akar-akar hak asasi. Tuntunan legal maupun sosietal untuk diperluasnya tanggung jawab administrasi semakin banyak itu mendesak kebutuhan  akan adanya interaksi antar lembaga-lembaga peradilan dengan lembaga-lembaga administrasi secara lebih intensif. Lantas bagaimana kita harus merumuskan bentuk keterkaitan antara lembaga judisial (kehakiman) dengan lembaga administrative di masa depan? Beberapa model dapat diajukan untuk melihat kemungkinan penerapannya di masa mendatang.
  
 1. Pengusaan (coping)
            Ketegangan antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan administratif mungkin kita akan tak akan pernah berakhir. Maka untuk menjaga kelancaran tugas-tugas kenegaraan, salah satu aspek kekuasaan harus bias mengusai yang lainnya.  Dengan kata lain harus ada semacam interaksi kooptai. Jika pengusaan itu dari kehakiman, maka para hakim harus memiliki kemampuan seperti yang terdapat pada pada administrator, seperti halnya eksekutifdan legislator. Selain kemampuan judisialnya, para hakim harus pula memiliki kemampuan manjerial dan sanggup mengadakan reformasi institusi-institusi publik dengan baik. Jika pengusaan dari sisi administrative, model pengusaan harus menemukan cara-cara untuk mengurangi campurtangan partner judisial. Sebagai missal, kalau masalah pertanggungjawaban persoalan meningkat karena banyaknya keputusan-keputusan judisial, penggantian kerugian (indemnification) oleh pemerintah harus diperbanyak. Model pengusaan tidak banyak dianjurkan karena merupakan penengan masalah yang sebenarnya tidak memecahkan persoalan. Ttapi dalam kenyataan model inilah yang sering terjadi, dan memang ketegangan antara administrasi Negara dan konsitusionalisme demokrasi sulit untuk dipecahkan secara permanen.
     2.    konvergensi
             Model ini mengasumsikan bahwa interaksi antara aparat kehakiman dan administrator publik akan  menghasilkan harmoni. Masing-masing pihak bukan hanya saling memaksakan tuntunan, tetapi bias saling megadakan consensus dalam prsoalan-persoalan administrasi Negara. Sebagai contoh, aparat kehakiman mungkin akan lebih piawali melakukan analisiscost effective atau cost-benefitdan mampu memahami generalisasi statistic dari pengalaman mereka degan peradilan administrasi. Para administrator publik juga dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan hak-hak konstitusional individu dan nilai-nilai adminitratif dengan demikian dapat dipadukan apabila tujuan keduanya mengacu kepada tujuan Negara yang paling mendasar.
     3. kemunduran judisial (judicial with drawal)
            Sebagian kritikus, akademis dan praktisi tetap mengecam campur tangan atau intervensi yang berlebihan para jaksa dan hakim dalam administrasi Negara. Dalam keadaan di mana Negara membutuhkan kebijakan-kebijakan taktis di bidang ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran, aspek judisial terkadang dirasa mengambat karena para administrator lalu disibukkan dengan pengaduan dan peradilan sengketa-sengketa administratif. Kekuasaan judisial yang berlebihan dan terlalu bebasnya para warga untuk menggunakan gugatan adminstratif bias beruubah menjadi kekuatan operasi yang melumpuhkan perkembanagan adminstrasi Negara. Maka ada saat-saat di mana kekuasaan kehakiman perlu menarik diri dari wilayah urusan  administrasi, misalnya saja pengurangan campur tangan judisial dalam keputusan-keputusan menajerial menegah serta teformasi institusi-institusi publik.

4. Perluasan hak (expending rights)
            Asumsi yang dipakai ialah bahwa kemungkinan jangka panjang untuk memperkuat dan memperluas hak-hak asasi individual akan terus bertambah. Hukum konstitusional di masa menatang akan memperluas konsepsinya tentang kebebasan dengan memasukkan “kebebasan positif” (positive liberty), atau kebebasan untuk menikmati kondisi-kondisi kehidupan yang memungkinkn tiap individu dapat menjadi “majikan bagi diri-sendiri”. Kondisi-kondisi seperti itu misalnya perumhan dan makanan  yang memadai, tingkatan penidikan yang cukup, serta kesehatan fisik dan mental yang baik. Spanjang  jalur-jalur kondisi ini, tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan admiinistrasi negara, dan  bahkan kondisi-kondisi seperti itu misalnya perumahan dan makanan yang memadai, tingkatan pendidikan yang cukup, serta kesehatan fisik dan mental yang baik. Sepanjang jalur-jalur kondisi ini, tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan administrasi negara, dan bahkan kondisi-kondisi seperti ini akan menunjang sosioterapi an kesejahteraan inividual. Namun, penekanan konsititusional pada kebebasan positif kan membutuhkan perubahan struktur, proses, dan pilihan nilai-nilai administrasi negara.
5. Kultur dmiinistratif baru (new administrative culture)
             Nilai-nilai gerakan “Administrasi Negara Baru “ (ANB)Dalam hal ini masih relevan dan dapat menjadi potensi yang baik bgi kombinasi antara tanggapan judisial dan konsep negara administratif. Suatu kultur administratif baru bisa merupakan basis legitimasi bgi perwakilan rakyat dan partisipasi dalam administrasi negara. Nilainilai prosedural dan keadilan di sini lebih di utamakan ketimbang ekonomi dan efesiensi. Kewenagan hierarkis dapat dikurangi melalui beberapa cara: judisialisasi administrasi negara, hak-hak konstitusional dan legal para pegawai negeri yang lebih besar, dan tuntunan bahwa para administrator publik harus secara individual bretanggung jawab terhadap tindakan-tindakan keinasan mereka. Konsep-konsep seperti hak atas perlakuan yang adil (right to treament), birokrasi yang repsentatif, birokrasi representatif,atau birokrasi kemanusiaan merupakan perwujudan dari model administrasi negara baru untuk pengembangan keterkaitan antara kekuasaan kehakiman, administrasi dan masyarakat luas.
Kelima model interaksi di atas masing-masing punya keunggulan dan kelemahan, dan kesemuanya punya peluang untuk diterapkan atau dikembangkan. Pada akhirnya pilihan model akan tergantung kepada bagaimana keinginan para penyelenggara pemerintah (legislatif maupun eksekutif), pejabat-pejabat teknis, para jaksa dan hakim, serta kehendak masyarakat sendiri. Namun satu hal yang wajib dipahami oleh para pejabat administratif ialah bahwa setiap model tersebut mengandung pola penerapan nilai-nilai judisial yang berlain-lainan. Andai kata suatu ketika rakyat secara menggebu mendesak diberlakukannya undang-undang PTUN, misalnya, maka mungkin model pengembangan yang harus dipakai adalah perluasan hak-hak individual, peningkatan fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Andaikata kondisi pembuatan kebijakan publik menjadi tumpul akibat oposisi yang berlebihan oleh kekuatan legal, maka model  judicial withdrawal mungkin lebih tepat untuk dilaksanakan. Demikian pula andai kata masyarakat kelas bawah merasa di tindas, kesejahtraan sosial kurang bagi, atau tanggung jawab aparat publik terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dirasa kurang, maka model kultur administrasi baru yang menekankan keadilan sosial akan lebih baik untuk dilaksanakan. Contoh-contoh ini kembali menegaskan bhwa dalam pelaksanaan tugas-tugas kedinasan para pejabat publik tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi negara secara judisial pemerintah bersama-sama dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Seperti telah di uraikan, UU No. 5 Tahun 1986 ini maksud untuk mengatasi perbenturan kepentingan atau sengketa antara lembaga dan para pejabat pelaksana adminisrasi negara dengan warga masyarakat. Dengan demikian tujuan peradilan tata usaha negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) serta tepat menurut undang-undang (wetmatig). Kecuali itu pemerintah juga telah membentuk sarana yang akan menjamin bahwa lembaga atau pejabat dapat melaksanakan tugas-tugas dengan tepat secara fungsional (elektif) dan tepat secara ekonomis (efisien). Jika ketepatan menurut hukum dan perundangan pengawasannya dilakukan bersama-sama aparat kehakiman sebagai perangkat eksternal, maka untuk ketepatan prosedur, elektifitas, dan efesiensi pengawasannya dilakukan secara internal melalui lembaga-lembaga pengawasan atau badan pemeriksa. Telah di uraikan dalam bab IV bahwa aparat pengawasan dalam jajaran birokrasi pemerintahan kita sudah cukup lengkap, mulai tingkat menteri (MENKO EKUIN dan MENPAN), BPK , irjen bang, BPKB, inspektorat jendela di setiap departemen, Itwilprop pada tingkat profinsi, sampai Itwilkap yang terdapat di setiap daerah tingkat I. Sudah barang tentu keterkaitan antara lembaga atau aparat publik dengan lembaga. Atau aparat pengawasan memiliki norma dan etikanya sendiri. Salah satu penjabaran tentang norma umum pengawasan itu dapat di lihat dari keputusan Mendagri No. 116 Tahun 1981 tentang pedoman pengawasan umum di lingkungan departemen dalam negeri yng di sebutkan sebagai berikut.
a.       Pengawasan tidak mencari-cari keselahan, yaitu tidak mengutamakan mencari siapa yang salah, tetapi apabilah ditemukan kesalahan, penyimpangan dan hambatan supaya dilaporkan sebab-sebab dan bagimana terjadinya serta menemukan cara bagimana memperbaikinya.
b.      Pengawasan merupakan proses yang berlanjut, yaitu dilaksanakan terus-menerus sehingga dapat memperoleh hasil pengawasan  yang berkesinambungan.
c.       Pengawasan harus menjamin adanaya kemungkinan pengambilan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelengaran yang  ditemukan, untuk mencegah berlanjutnya keselahan dan atau penyimpangan.
d.      Pengawasan bersifat mendidik dan dinamis, yaitu dapat menimbulkan kegairahan untuk memperbaiki, mengurangi atau meniadakan penyimpangan di samping menjadi pendorong dan perangsang untuk menertibkan dan menyempurnakan kondisi objek pengawasan.

            Selain norma umum pengawasa, disebutkan pula norma umum pemeriksaan, dan norma laporan. Norma umum pemeriksaan menunjukkan tentang kaidah-kaidah pokok bagi pemeriksaan secara teknis. Ada delapan materi atau bidang pemeriksaan secara teknis. Ada delapan materi atau bidang pemeriksaan yang harus diliputi, yaitu bidang pemerintahan,  kepegawaian, pertanahan dan pertanian, keuanagan, pembangunan umum, pembangunan desa, social politik serta ekonomi dan kesejahteran rakyat. Sementara itu norma laporan menentukan tentang tata cara pembuatan laporan pengawasan dan pemeriksaan.
            Untuk menciptakan system administrasi pemerintahan yang tertib, mencegah kebocoran uang Negara, serta menjamin efektivitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas  tinggi. Pemeriksa yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan, secara individu atau setidak-tidaknya secara kolektif, harus mempunyai keahlian / kemampuan teknis yang diperlukan dalam bidang tugasnya, menurut Sujamto, ada tiga jenis keahlian yang diperlukan bagi setiap pengawasan atau pemeriksa, yaitu keahlian tentang objek pengawasan, keahlian tentang teknik / cara pengawasan, dan keahlian menyampaikan hasil pengawasan. Yang dimaksud keahlian tentang objek pengawasan ialah pengetahuan tentang standar yang berlaku bagi objek pengawasan yang bersangkutan. Seorang pengawas proyek pembagunan fisik harus memahami betul standar proyek mulai dari rencana (DIP, desain, bistek, rencana kerja, surat kontrak, dan sebaikny), keuntungan-keuntungan yang menyangkut prosudur, administrasi sampai dengan keungannya. Seorang pengawas administrasi kepegawaian harus ahli betul dalam hal administrasi kepegawaian. Setiap pemeriksa harus memiliki keahlian yang memandai objek yang mesti diperiksa. Keahlian tentang teknik pengawasan mensyaratkan seorang pemeriksa agar dalam waktu yang terbatas memperoleh data dan informasi yang maksimal (kuantitas maupun kualitas) tentang objek yang diperiksa. Pemeriksa hanya akan dapat menarik kesimpulan dan menyajikan laporan yang baik jika data yang diperolehnya lengkap dan anaisisnya akurat. Sementara itu keahlian menyampaikan hasil pengawasan ialah keahlian untuk menyajikan hasil pemeriksaan kepada dua jalur penyampaian secara baik, yaitu kepada atasan pemeriksa dan pihak diperiksa. Banyak temuan yang sebenarnya cukup berharga, berbobot dan perlu ditindaklanjuti, tetapi tidak mendapat penanganan semestinya karena pimpinan tidak dapat menangkap secara utuh pesan yang disampaikan pemeriksa dalam laporannya. Di dalam pemyampaian laporan atau yang disebut sebagai forum exit briefing para pemeriksa dituntut memiliki kemahiran berbahasa, ketepatan laporan dan keterampilan mengungkap fakta.
            Dengan melihat persyaratan-persyaratan yang diperlukan bagi seorang pengawas ini, tampak bahwah seorang pengawas harus benar-benar andal secara teknis, kognitif, maupun idealnya seorang pengawasan harus lebih mumpuni dari pada diawasi. Sayangnya, dalam system administrasi Negara kita masih sering dijumpai para pengawasan yang belum memenuhi persyarat-persyaratan diatas. Banyak pengawas yang tidak memahami standar proyek yang diawasi, kurang memiliki pengetahuan teknis yang memandai, atau bahkan tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan. Di samping itu, banyak pula para pengawasan yang mungkin secara teknis cukup ahli tetapi secara mental kurang baik. Pengawas-pengawas seperti ini jelas akan cenderung membelokkan tujuan pengawasan itu sendiri karena ia mudah goyah pendiriannya sehingga mau “bekerja sama” dengan aparat yang diawasi untuk memanipulasi laporan pemeriksaan. Tentu saja ini bukan pula tipe pengawasan yang dikehendaki. Maka peryaratan dalam mencari pengawas yang baik memang tinggi, seorang pengawas harus memiliki 5A: akhlak, amal, asih, arif, dan ahli.
            Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Di atara kualitas  batin tersebut adalah sikap sangsi (suspicious mind), ingin tauh lebih banyak (inquisitive mind), dan akurat (accurete). Sikap sangi disini bukan berarti kecurigaan yang tak beralasan, melaikan suatu sikap hati-hati dalam menyaring, menimbang, dan menyimpulkan data serta informasi. Keingintahuan berti bahwa pengawasan harus selalu berusaha mencari data sebanyak-banyaknya tentang objek yang diawasi. Daya logika dan analisis jelas diperlukan bagi pengawas supaya dia dapat menarik kesimpulan yang tepat dan jelas. Dan kemudian sikap akurat berarti kualitas untuk bertindak secara teliti dan cermat karena bagimanapun juga tugasnya menyangkut harta uang Negara.
            Untuk pelaksanaan tugas sehari-hari para pegawasi negeri maupun pejabat pemerintah, sesungguhnya mekanisme pengawasan telah dibuat secara inheren dalam organisasi yang bersangkutan. Proses penilaian pengawai itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sarana pengawasan langsung sehingga kalau itu didayagunakan akan dapat mencegah tindakan-tindakan menyimpang. Melalui keputusan pemerintah no. 67 tahun 1980, misalnya, telah diatur tentang kedudukan badan pertimbangan kepegawaian bagi instansi-instansi pemerintah.
            Pengambilan berbagi unsure instansional untuk tergabung dalam badan pertimbangan kepegawaian dimaksudkan supaya pengawasan dan penilaian prestasi pengawasi atau pejabat benar-benar valid dan tidak terjadi tolak ukur yang berat sebelah. Dengan menyusun matriks penilaian pejabat berdasarkan pertimbangan berbagai unsur pemerintah, ketentuan-ketentuan mengenai sanksi, muntasi, maupun promosi akan dapat ditetapkan dengan landasan yang tepat. Namun seperti halnya setiap proses penilaian tetap tergantung kepada konsistensi dan objektivitas dari pada subjek penilai sendiri. Intersubjektivitas memang dapat dijadikan sarana memperoleh penilaian yang objektif, tetapi hal itu tetap tidak akan didapat jika semua penilaian sudah tidak objektif lagi. Karena itu kejujuran, kecermatan, dan keahlian dalam menilai proses dan aparat administrasi merupakan hal yang paling mendasar.  
B.     Etos Kerja
Pembicaraan yang berkadang filosofis dan sesiologis akan banyak dilibatkan kalau orang membahas tentanng etos kerja namun sayang sekali bahwa tidak banyak  tulisan yang membahas persoalan etos kerja dalam birokrasi pemerintahan dengan pendekatan-pendekatan empiris. Hal ini dapat dipahamai karena memang topik etos kerja  manyangkut sistem nilai yang  dianut oleh sekelompok orang tambahan lagi pekerjaan-pekerjaan administratif memang tidak hanya menyangkut  pekerjaan-pekerjaan fisik tetapi juga menyangkut proses berpikir dan mengambil keputusan. Oleh karena itu penilaian tentang etos kerja seringkalitidak selalu dapat dihubungkan dengan hal-hal yang tampak dari luar. Meski demikian pembahasan  yang disertai rujukan empiris akan sangat bermanfaat karena mempermudah pemahaman dan memperkaya khasana evaluatif dalam menilai etos kerja dalam suatu komunitas.
Menurut Geertz etos kerja adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan aspek evaluatif yang bersifat menilai dengan demikian yang dipersoaalkan dalam pengertian etos kerja dan kemungkinan sumber motivasi seseorang yang dalam pekerjaan di anggap sebagai keharusan demi hidup apakah pekerjaan terikat pada diri sendiri atau (dalam lingkungan empiris) apakahyang menjadi sumber pendorong partisipasi dalam pembangunan etos kerja juga merupakan ide, cita, atau pikiran yang akan menentukan sistem tindakan ( system of action). Karena etos menetukan penilaian manusia atas  suatu pekerjaan dia akan menentukan pula hasil-hasilnya. Semakin progresif etos kerja suatu masyarakat,semakin baik hasil-hasil yang akan di capai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Sebagian analis menguraikan bahwa sumber utama bagi etos kerja yang baik adalah keyakinan religius,dan agaknya memang terdapat hubungan yang signifikan antara ajaran-ajaran agama dengan etos kerja suatu masyarakat. Tesis Max Weber yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism merupakan tulisan yang begitu terkenal sebagai telaah yang menghubungkan etika agama Protestan dengan kemajuan di negara-negara barat. doktrin-doktrin dalam agama Kristen Protestan menekankan pentingnya pekerjaan sebagai suatu panggilan jiwa bagi manusia sehingga kerja merupakan kewajiban hidup yang sakral. Salah satu ayat dalam kitab injil mengatakan mutuum date nihil inde sperantes (Lukas 4:35) yang terjemahannya berarti : “Hendaknya kamu saling memberi tanpa mengharapkan sesuatu”. Konsep-konsep ini untuk sebagian besar telah mendasari sikap hidup prang barat yang ulet,hemat,berpikiran rasional,kontrol diri,kerja keras,dan jujur. Di dalam agama islam juga terdapat konsep-konsep yang merupakan acuan bagi etos. Agama islam menggariskan syariah (hukum sakral) sebagai sumber aturan dalam berperilaku beserta konsep marja’i taqlid (sumber panutan) yang mengajarkan kesetiaan dan ketekunan. Di samping itu,terdapat pula prinsip-prinsip yang mengajarkan kerja keras,seperti di sebutkan dalam salah satu ayat suci : “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka berusaha mengubah nasib mereka sendiri” (Al-Quran. 13:11). Bagi para pemeluk agama Hindu,ajaran yang terkandung dalam dharma merupakan dasar bagi etos kerja mereka. Masyarakat Hindu punya kewajiban untuk menaati hukum karmayoga,suatu norma yang menyatakan bahwa kerja sesuai dengan swadharma masing-masing merupakan inti dari yadnya (ibadah).

Keberhasilan bangsa Jepang dalam mengembangkan teknologi dan membangun ekonomi dalam waktu yang relatif singkat untuk sebagian disebabkan oleh etos kerja masyarakat Jepang yang sangat menunjang pembangunan. Jika di tilik dari sistem agama atau kepercayaan mereka, ternyata bangsa Jepang memang mempunyai landasan etis yang mementingkan loyalitas dan kerja keras. Shintoisme dan Buddhisme Zen mengajarkan bahwa hal yang paling utama di dalam hidup seseorang adalah ketekunan dan loyalitas pada pekerjaan. Di samping itu,terdapat pula nilai-nilai sakral, yang sangat di pegang dan di hormati oleh bangsa Jepang yang terkandung dalam konsep giri (kewajiban),bungen (status), (kehormatan), dan juga jisei (semangat tentang waktu). Nilai-nilai itulah yang selama ini mendasari kecintaan kerja orang Jepang serta keberhasilan pembangunan ekonomi. Kini kita juga melihat perkembangan negara-negara industri baru yang di sebut sebagai The Four Small Dragons of Asia, yaitu Hongkong, Korea, Singapura, dan Taiwan. Pandangan hidup yang menjadi dasar hidup bagi masyarakat di negara-negara ini adalah Konfusianisme. Inti dari ajaran Konfusianisme ternyata menguraikan keutamaan loyalitas, nasionalisme, kolektivitas sosial, dan kepentingan akan teknologi (technological interest). Masyarakat  di keempat negara tersebut juga percaya bahwa kesejahteraan ekonomis merupakan sarana untuk mencapai status yang lebih tinggi dan ketentraman spiritual. Perilaku mereka berpedoman pada ajaran chu (loyalitas) dan ko (kesantunan keluarga). Ajaran-ajaran inilah yang membuat mereka sangat memperhatikan masalah-masalah ekonomis, kesejahteraan keluarga, dan perbaikan masa depan.

            Lepas dari berbagai akses yang mungkin terjadi oleh konsep dan ajaran" tersebut, tampaklah bahwa nilai" dan etos suatu komunitas akan menentukan aspek" progresif mereka suatu masyarakat akan bergerak ke arah kemajuan kalau mereka memang menghendakinya dalam hal ini etos kerja berperan sangat penting sebagai dasar dari kehendak seperti itu.

            Di samping berasal dari nilai" religius,etos kerja juga berasal dari nilai" budaya serta sikap hidup suatu masyarakat. Masyarakat barat berhasil mengembangkan industri dengan garis sebagai dasar utamanya karena cara berpikir mereka yang cenderung merasionalkan persoalan masyarakat jepang demikian pula mereka tidak ragu" untuk belajar dan meniru dari orang lain sepanjang itu bermanfaat dan tidak merugikan mereka.
Bangsa indonesia sesungguhnya telah memiliki pijakan yang kuat untuk membina etos kerja yang menunjang kemajuan. Di samping sikap hidup yang religius,bangsa indonesia mempunyai pancasila sebagai dasar" nilai luhur yang tak pernah kering. Konsep" yang serupa dengan dasar" etika kerja seperti telah disebutkan di atas telah pula kita miliki, seperti budi pekerti, gotong royong, dan pengadilan. Kini tinggal bagaimana kita memanfaatkan gagasan". Pembangunan. Pengamalan dan penghayatan budaya pancasila dan usaha untuk memasyarakatkannya tidak dapat di pisahkan dari pengembangan kesadaran kritis karena dengan kesadaran kritis itulah ideologi dapat menjadi gejala kebudayaan yang bermakna. Tanpa kesadaran budaya kritis, pancasila akan menjadi tidak operasional, akan menjadi kata" yang kehilangan dimensi aksinya kata" yang terlepas dari perbuatan atau pengamalan maka dengan kesadaran kritis serta upaya" untuk menerjemahkan makna yang terkandung dalam pancasila dalam gagasan" pembangunan yang sesungguhnya, kita akan memperoleh dinamika dalam pemikiran maupun perbuatan. Tujuan pembangunan seperti yang terkandung dalam ungkapan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya hendaknya tidak terhenti dalam refleksi yembal melainkan juga dalam aksi riil. Dan untuk melaksanakan aksi" riil yang berkaitan langsung dengan kemajuan dan pembangunan dalam segala aspeknya,penyempurnaan dan pengembangan etos kerja para pejabat publik haruslah dilaksanakan tanpa henti bagi seorang pegawai negeri atau pejabat pemerintah etos kerja yang baik bukan saja akan menghasilkan sikap" produktif seperti kerja keras jujur berperhitungan dan hemat tetapi juga akan menciptakan mekanisme kendali diri (inner check) guna menghadapi berbagai persoalan dalam tugas kedinasan maupun mengatasi godaan dan iming-iming dari luar.
 Apabila panggilan dasar" etos kerja itu dilaksanakan secara konsisten,maka dapat diharapkan bahwa di antara para pejabat publik akan tumbuh semangat humanisme untuk bekerja keras bagi masyarakat luas dengan kesetiaan kepada negara yang utuh. Dalam keadaan seperti itu setiap perencanaan pembangunan beserta implementasinya akan berjalan sesuai keinginan bersama lebih dari itu para pejabat atau pegawai akan mendapatkan  kepuasan yang maksimal  dari pekerjaan mereka  karena dalam bekerja mereka tidak pernah setengah-setengah dengan keyakinan tidak ada pengorbanan yagn sia-sia. Etos kerja menjadi kekuatan spiritual bagi segala macam pekerjaan dalam birokrasi pemerintahan kekuatan penggerak itu bersifat otonom dan menjadi semacam “idiologi birokrasi” sehingga segenap aparat akan bekerja sungguh-sungguh tanpa dorongan dari luar. Seluruh sumber daya segalah yagn berasal dari rakyat akan dapat dimanfaatkan  untuk kesejahtraan bersama dan kemakmuran bersama.
Pengambaran diatas mungkin terlalu idealis kalau kita melihat praktik pelaksanaan tugas-tugas layanan umum dalam birokrasi kita. Harus diakui bahwa tidak setiap pejabat memiliki kadar altruisme atau pemahaman tentang nilai pengabdian yang sama, dan setiap orang harus mencukupi kebutuhan keluarganya disamping kewajiban untuk melayani umum. Akan tetapi justru dengan idealisme seperti itulah sesungguhnya kita masi akan bisa berharap banyak bagi pembangunan dan peningkatan kemakmuran rakyat  melaui layanan dan tata kerja birokrasi.banyak orang beranggapan bahwa penyabab mengapa pegawai swasta punya semangat kerja lebih tinggi jika dibandingkan dengan pegawai negeri  adalah karena imbalan material yang lebih tinggi, bahwa etos kerja dapat dibeli dan  punya kaitan erat dengan komersialisasi. Namun, persoalannya ialah bahwa komersialisasi yang dipengaruhi konsumerisme itu pun sebenarnya telah melanda sebagian aparat negara kita. Jika seorang  clerk tiba sangat bersemangat  dalam bekerja karena dia  telah mempeoleh pelicin dari seorang warga masyarakat, bukankah itu termasuk komersialisasi jabatan? Jika seorang pejabat sangat giat dalam bederma dan melakukan rehabilitasi  sosial hanya karena  ingin supaya orang-orang mencalonkan dia kembali  untuk jabatan tertentu, apakah itu etos kerja yang kita harapkan? Tentunya yang kita harapkan adalah etos kerja yagn benar-benar murni, yang tidak dikotori oleh kepentingan-kepentingan individu yang tersembunyi. Etos kerja yang dalam sanubari setiap pegawai pemerintah  sehingga kehendak untuk bersifat jujur cermat, dan menghargai waktu  akan menjadi hukum tak tertulis(jus non­-scrtiptum)bagi pelaksanaan tugas-tugas mereka. Produktifitas aparatur  pemerintah akan dapat ditingkatkan terus karena setiap komponen yang terdapat dalam birokrasi berlomba –lomba untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Organisasi-organisasi pemerintah akan meraih produktivitas yang tinggi andaikata jam kerja formal yang jumlahnya sekitar 40 jam seminggu itu benar-benar diisi aktivitas-aktivitas dengan etos kerja yang baik. Hendaknya diingat pula bahwa produktivitas bukan hanya dalam pengertian fisik melaikan termasuk produktivitas  kognitif. Produktifitas kognitif dapat dilihat dari banyak inisiatif dan kreativitas aparat untuk menghasilkan layanan umum yang efisien dan sekaligus memajukan organisasi. Ini patut diperhatikan oleh para administrator dan birokrat karena pada sebagian besar instansi perintah, banyak fakta yang menujukkan adanya kemiskinan inisiatif dalam proses manajerial maupun dalam tugas-tugas teknis. Kemiskinan inisiatif dapat disebabkan karena kurangnya kesempatan yang diberikan oleh atasan kepada bawahannya untuk mengambil prakarsa, tetapi dapat juga disebabkan karena memang rendahnya motivasi para pengawai untuk bekerja secara lebih baik. Salah satu cara memecahkan masalah ini adalah dengan mengkondisikan supaya organisasi lebih mementingkan produktivitas dia atas yang lain. 
Bila beberapa pedoman kerja untuk membangkitkan etos kerja ini dirangkum, ada dua pengertian pokok yang perlumdi upayakan oleh setiap pejabat atau pegawai pemerintah yaitu pengembangan diri (self development) dan peningkatan diri (self improvement). Pengembangan diri merupakan suatu proses pendidikan diri sendiri yang dilakukan seseorang denga cara mandiri, sedangkan peningkatan diri merupakan usaha untuk selalu memperbaiki perilaku sehinggasesuai dengan nilai nilai moral dan etika yg berlaku dibidang administrasi pemerintah. Selain itu, etos kerja yang baik masyarakat cinta kepada pekerjaan tebal tipisnya kecintaan pada pekerjaan akan menentukan apakah seorang pejabat diliputi oleh semangat mengambil ataukah semangat memberi sudah tentu dikendali oleh etika adalah semangat member sebanyak-banyaknya pada organisasi maupun pada masyarakat umum.
Telah terjadi fenomena umum bahwa kendala untuk meningkatkan etos kerja dalam organisasi public ialah kurang mapannya ukuran untuk menilai produktifitas pegawai. Barang kali kita perlu mengingat lagi bahwa penekanan pada efektifitas dengan mengorbankan efisiensi sama sekali bukan gagasan yang baik dalam rangka meningkatkan produktifitas. Hal ini diperlukan bagi organisasi-organisasi pemerintah sekarang ini adalah pandangan yang sistematis untuk mencanangkan program produktifitas tanpa menghilangkan daya tangkap kebutuhan masyarakat. Manajemen public yg modern membutuhkan pengukuran produktifitas dan auditing, manajemen tenaga kerja, insentif yang dikaitkan dengan kinerja, pelatihan untuk meningkatkan produktifitas, serta sarana-sarana baru untuk membandingkn besarnya investasi dengan hsil yang diperoleh.
 Asumsi bahwa produktifitas organisasi pemerintahan tidak dapat di ukur hendaknya di buang jauh-jauh. Kata telah memiliki kantor-kantor Akutan Publik, Biro Pusat Statistik, beserta seluruh lembaga pengawasan yang bersifat structural maupun fungsional. Semuanya dapat dimanfatkan untuk mengukur sampai di mana produktivitas lembaga-lembaga pemerintah kita. Pemanfaatan data rangkaian waktu (time series), identifikasi target penyempurnaan lembaga, delegasi tanggung jawab operasional kepada tingkat manajemen yang lebih rendah, analisis yang mengkaitkan antara alokasi sumber daya dan hasil kebijakan, analisis biaya manfaat, dan sebagainya merupakan contoh cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

 BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan






   MAAF, KESIMPULANNYA MENURUT

 PEMAHAMAN MASING MASING SAJA

















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed.). 1979. Agama, Ethos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi.  
            Jakarta : LP3ES
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Jakarta : LP3ES.
Alatas, Syed Hussein. 1987. Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta : LP3ES
Wahyudi Kumoroto, Etika Administarsi Negara. Jakarta
sebutsajarendy.blogspot.co.id