Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 Mei 2016

MAKALAH : PROSES DAN FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK



PROSES KEBIJKAN PUBLIK
Proses Dalam rangka memecahkan suatu masalah masalah public menurut Dunn (1994), antara lain (1) penetapan agenda kebijakan , (2) adopsi kebijakan , (3) implementasi kebijakan , (4) evaluasi kebijakan. Menurut james Anderson (1979 :23-24), sebagai pakar kebijakan public menetapkan proses kebijakan public sebagai berikut :
1.      Formulasi masalah
2.      Formulasi kebijakan
3.      Penentuan kebijakan
4.      Imlementasi kebijakan
5.      Evaluasi kebijakan.
Sedangkan menurut Ag Subarsono (2004;8) mengatakan bahwa proses kebijakan public adalah serangkaian intelektual yang di lakukan dalam prosese kegiatan ang bersifat politis. Altivitas olitis tersebut mulai dari penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakn ,implenentasi kebijakn, dan evaluasi kebijakan.Berdasarkan pendapat tersebut maka proses perumusan kebijakan yaitu analisis kebijakan pengesahan kebijakan imlementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
FORMULASI KEBIJAKAN
Perumusan kebijakan publik adalah inti dari kebijakan public karna disini dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Maka itu, pertama kali harus disadari beberapa hal hakiki dari kebijakan public.
Pertama, kebijakan public senantiasa ditunjukkan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan public untuk meningkatkan kehidupan public itu sendiri. Jadi, core kebijakan public adalah “ Intervensi” kenapa demikian, sederhana saja. Meskipun kebijakan public adalah “ apa yang dipilih untuk di kerjakan dan tidak dikerjakan pemerintah “ sebenarnya, yang menjadi focus adalah, apa yang dikerjakan pemerintah yg bersifat aktif.
Pemerintah melakukan tugaspokok manajemeni organisasi negara. Dan, sebagaimana dikatakan guru manajemen Peter. F. Drucker, For management has to manage. And managing is not just passive, adaptive behavior, it is means taking action to make the desired result come to pass (Drucker 1993,11)
Paradigma kegiatan pemerintah sebenarnya mulai bersifat interventif pada akhir tahun 1930-an ketika Keynes memperkenalkan kebijakan pemerintah untuk mengatasi economic malaiseyang dialami AS ditahun 1932. Kebijakan Keynes pada intinya adalah bahwa pemerintah harus melakukan intervensi melalui kebijakan public untuk menjaga kesinambungan kehidupan bersama, khususnya yeng menjadi focus Keynes dan para pengikutnay dibidang ekonomi, karna fokusnya adalah intervensi, yang harus menjadi perhatian kebijakan public adalah kebijakan public mengarah kepada tindakan tindakan yang dapat dilakukan pada wilayah yang di intervensi.
Kenyataan ini yang sering menjadi kekeliruan palingdasar dari pembuat kebijakan public, khususnya berlatarbelakang dunia akademis, yang mengendalikan semua dalam kondisi ideal. Sebagian besar kebijakan public  berada domain ideal. Yaitu berusaha memecahkan seluruh permasalahan sampai kedetail dan tidak memberi ruang gerak bagi bias kebijakan, bias implementasi, bias evaluasi yang secara kontekstualitas memberi ruang pada lembaga public dan masyarakat untuk masuk memeberikan perang komplementernya. Saya memberi nama kebijakan public ini sebagai kebijakan public yang baik tetapi tidak benar. Baik dalam arti memang rumusannya baik, namun tidak benar karna ia mengendalikan intervensi disegenap hal.

Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2). 
 menurut Winarno (1989, 53),Formulasi kebijakan sebagai suatu proses, dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana  keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih.
Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik),  Udoji (Wahab ; 2001, 17) merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, channelling those demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”.

Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.

Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989, 53), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana  keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam  tahap  perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
a.      Perumusan masalah kebijakan.
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut.  Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan.
b.      Penyusunan agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit  dan terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
·         Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
·         Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.
·         Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah.
·         Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga menarik perhatian para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam agenda pemerintah. 
·         Masalah-masalah khusus atau isyu-isyu politis yang timbul dalam masyarakat, sehingga menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isyu tersebut.
Sedangkan Jones (1977, 32) mengajukan suatu pedoman untuk meneliti atau mempelajari tentang syarat-syarat suatu problem publik dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
·         Dilihat dari peristiwanya, yang meliputi ruang lingkup, persepsi masyarakat, definisi dan intensitas orang-orang yang dipengaruhi oleh peristiwa tersebut.
·         Organisasi kelompok, yang meliputi luasnya anggota kelompok, struktur kelompok dan mekanisme kepemimpinan.
·         Cara mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.
·         Proses kebijaksanaan, yang meliputi struktur, kepekaan dan kepemimpinan.
Selanjutnya, setelah problem publik tersebut dimasukkan ke dalam agenda pemerintah, maka para pembuat keputusan memprosesnya kedalam fase-fase, yang oleh Jones (ibid) dibagi kedalam 4 (empat) tahap, yakni : (1) problem definition agenda yaitu hal-hal (problem) yang memperoleh penelitian dan perumusan secara aktif dan serius dari para pembuat keputusan ; (2) proposal agenda, yaitu hal-hal (problem) yang telah mencapai tingkat diusulkan, dimana telah terjadi perubahan fase merumuskan masalah kedalam fase memecahkan masalah ; (3) bargaining agenda, yaitu usulan-usulan kebijakan tadi ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius ; dan    (4) continuing agenda, yaitu hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus menerus.  
c.       Perumusan usulan kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
·         Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif.
·         Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
·         Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang relevan.
·         Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi dari pilihannya.  
d.      Pengesahan kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards). Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai “Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri”. Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.

Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga membentuk pola sistemik berupa input – proses – output – feedback. Menurut Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang terdapat dalam proses formulasi kebijakan adalah : 
a.      Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan tertentu, sehingga pada akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak bagi sistem kebijakan. Jika pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran berikutnya, ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem. 
b.      Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi norma bersama. 
   
c.       Orientasi nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan proses mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi nilai, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-aktor yang berperan dalam formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or balancing interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer), yakni mampu menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang didasarkan pada penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang maksimal.   

Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang dilakukan secara ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian tindakan dalam memecahkan problem publik melalui identifikasi dan analisis alternatif, tidak terlepas dari nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor dalam proses tersebut. Anderson (1966), Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994, 21) mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yakni :
a.      Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses pembuatan kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan miskin aspek lapangannya sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor kekuasaan, dimana sumber-sumber kekuasaan itu berasal dari strata social, birokrasi, akademis, profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.  
b.      Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. Pada tataran ini, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para stakeholders lebih dipengaruhi serta dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga pada gilirannya, produk-produk kebijakan yang dihasilkan lebih mengakomodasi kepentingan organisasi mereka ketimbang kepentingan publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu mengeliminir kecenderungan tersebut. 
c.       Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya.
Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih dipahami sebagai suatu proses yang terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal. Fokus dari pandangan ini adalah siapa mendapatkan nilai apa, kappa ia mendapatkan nilai tersebut dan bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.
d.      Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain. Pandangan iniu melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak terlihaty tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana mereka menggunakan informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka menentrukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana informasi diproses dan bagaimana informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
e.      Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ideologi juga masih merupakan sarana untuk merasionalisasikan dan melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.  

Sedangkan menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah :


a.      Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.  
b.      Adanya pengaruh kebiasaan lama.
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.  
c.       Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d.      Adanya pengaruh dari kelompok luar.
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
e.      Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan  atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.

Masalah nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik, merupakan aspek metapolicy karena menyangkut substansi, perspektif, sikap dan perilaku, baik yang tersembunyi ataupun yang dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan publik. Masalah nilai menjadi relevan untuk dibahas karena ada satu anggapan yang mengatakan bahwa idealnya pembuat kebijakan itu seharusnya memiliki kearifan sebagai seorang filsuf raja, yang mampu membuat serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya secara adil sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Meskipun demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan keputusan-keputusan kebijakan tidak mampu memaksimasi ketiga nilai tersebut di atas. Juga, tidak ada bukti pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang satu lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, maka keputusan-keputusan kebijakan mau tidak mau haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple values). Kesadaran akan pentingnya multiple values itu dilandasi oleh pemikiran “ethical pluralism”, yang dalam teori pengambilan keputusan sering disebut dengan istilah “multi objective decision making”.

Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa para pembuat kebijakan idealnya memperhatikan semua dampak, baik positif maupun negatif dari tindakan mereka, tidak saja bagi para warga unit geopolitik mereka, tetapi juga warga yang lain, dan bahkan generasi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, proses pembuatan kebijakan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi professional, para administrator dan para politisi.


DAFTAR PUSTAKA

Riant Nugroho, Public Policy, PT Alex Media Komputindo (2009)

Pasolong Harbani, Teori Administrasi Publik, Penerbit Alfabeta Bandung.

Kamis, 26 Mei 2016

MAKALAH | Tamsil dan Hikmah Isra' Mi'raj

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, Seringkali di kalangan masyarakat kita, dalam mendefinisikan isra dan mi’raj, mereka menggabungkan Isra Mi’raj menjadi satu peristiwa yang sama. Padahal sebenarnya Isra dan Mi’raj merupakan dua peristiwa yang berbeda. 
Isra Mi’raj adalah dua bagian dari perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad SAW mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Untuk menjelaskan hal tersebut, pada kesempatan ini penulis bermaksud memberikan Tamsil tentang Isra dan Mi’raj, serta hikmah dari perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW.
B.     Rumusan Masalah
Pada pembahasan makalah ini penulis akan merumuskan masalah pembahasan pada Tamsil Isra’, Tamsil Mi’raj dan Hikmah dari Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
C.     Tujuan Makalah
Adapun tujuan penyusunan makalah tentang Tamsil dan Hikmah Isra’ Mi’raj ini adalah untuk memberikan gambaran dan pengetahuan bagi kita tentang Tamsil Isra’, Tamsil Mi’raj dan Hikmah dari Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Sekaligus makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

BAB II
TAMSIL DAN HIKMAH ISRA’ MI’RAJ

A. Tamsil dalam Isra’ 
Nabi Muhammad Saw. melihat orang yang memotong padi (panen) terus menerus, beliau bertanya kepada Jibril, “siapakah mereka itu?” Jibril menjawab; “Mereka itu adalah umatmu yang gemar beramal jariah yang kemudian mereka terus menerus memetik pahalanya dari Allah Swt”.
Nabi Muhammad Saw. melihat orang yang memukul kepalanya terus menerus, lantas beliau bertanya pada Jibril ”Siapakah mereka itu ya Jibril?” dijawabnya “Mereka itu ibarat umatmu yang enggan bershalat, yang kelak sangat menyesal dengan memukul kepalanya sendiri terus menerus sekalipun terasa sakit olehnya”
Nabi Muhammad Saw. melihat kuburan yang sangat harum baunya, lalu beliau bertanya ”Apakah itu ya Jibril?”jawabnya, “Itu kuburan Masithoh dan anaknya. Dia mati karena disiksa dengan digodok oleh Fir’aun karena ia mempertahankan imannya kepada Allah Swt.
Nabi Muhammad Saw. melihat orang yang dihadapannya ada dua buah hidangan, sebelah kanannya makanan lezat dan sebelah kirinya makanan busuk, orang itu dengan lahapnya memilih makanan busuk. Rasulullah bertanya : ”Ya, Jibril siapakah mereka itu?” . Jibril menjawab : ”Ya, Rasulullah, itu bagaikan umatmu yang suka membiarkan nafsunya memilih pekerjaan yang buruk dan dosa daripada beramal baik dan berpahala”

B. Tamsil dalam Mi’raj
Nabi Muhammad Saw. melihat orang yang gagah perkasa, orang itu menengok dan melihat ke kiri merasa sedih dan menangis tersedu sedu, tetapi bila menengok dan melihat ke kanan dia berseri seri gembira dan tersenyum senyum. Nabi bertanya : “Siapakah orang itu, ya Jibril?”, jawab Jibril :”Ya Rasulullah dia itu bapakmu yang pertama yaitu Nabi Adam AS. Bila beliau melihat ke kiri sedih, karena melihat anak cucunya di dunia berbuat jahat dan dosa. Sebaliknya, bila menengok ke kanan merasa gembira, karena melihat anak cucunya di dunia yang berbuat baik dan beramal shaleh”.
C. Hikmah dari Isra’ Mi’raj
Ada banyak hikmah dari peristiwa Isra’ Mi’raj yaitu sebagai berikut :
1.      Menghilangkan perasaan sedih dan gundah dalam diri Nabi Muhammad Saw. yang disebabkan oleh meninggalnya pembelanya yang utama yaitu, pamannya Abu Thalib dan isterinya siti Khadijah. Allah Swt. ingin meyakinkan utusan-Nya itu bahwa kebenaran dan keyakinan yang dibawanya tidak akan dapat dikalahkan oleh siapapun.
2.      Allah Swt. hendak memperlihatkan ke-Maha KuasaNya kepada Nabi Muhammad Saw. agar ia tetap yakin bahwa Allah akan tetap menolongnya dalam menghadapi musuh musuh yang menghalangi dan membendung dakwah islam.
3.      Allah Swt. mempertemukan dan memperkenalkan Nabi Muhammad Saw. dengan para Nabi dan Rasul terdahulu agar dapat menambah semangat dan keyakinannya.
4.      Allah Swt. memperlihatkan kepada Nabi Muhammad Saw. bekas bekas kejayaan bangsa bangsa terdahulu yang hancur karena kedurhakaannya kepada Allah Swt. dan RasulNya.
5.      Menguji para pengikut Nabi Muhammad Saw. apakah mereka itu beriman kepada agama yang selama ini sudah dianutnya, sekalipun akal dan pikiran mereka belum dapat mengerti dan memahami kejadian tersebut.
6.      Nabi Muhammad Saw. dapat bertemu langsung kepada Allah Swt..
7.      Allah Swt. menyampaikan perintah melakukan sholat lima waktu kepada Nabi dan umatNya

BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Peristiwa Isra' Mi'raj yaitu perjalanan malam hari Nabi Muhammad SAW dari Masjid Haram (Makkah) ke Masjid Aqsha (Palestina) dilanjutkan dengan “naik” ke Sidratul Muntaha menghadap Allah SWT. Dalam perjalanan ini Allah SWT memperlihatkan kepada Nabi Muhammad SAW semua kebesaran Allah SWT.
Dari Tamsil Isra’, Tamsil Mi’raj dan hikmah Isra’ Mi’raj di atas dapat kita simpulkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj sangat besar hikmahnya bagi kita umat nabi Muhammad. Allah SWT telah menunjukkan kebesarannya kepada rasulnya Nabi Muhammad SAW. 

B. Saran

Pada bulan Rajab, khususnya momentum peringatan Isra’ Mi’raj, seyogianya kita mengevaluasi shalat kita selama ini: sudahkah dilaksanakan sesuai sunnah Rasul? Sudah pahamkah kita akan makna bacaan dan gerakan shalat? Sudah khusyukah shalat kita selama ini? Berdampakkah shalat kita pada perilaku keseharian?

Senin, 23 Mei 2016

PAPER / MAKALAH PENGANTAR SOSIOLOGI

                                                            BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Setiap manusia dari lahir hingga kematiannya selalu berada dalam suatu lingkungan masyarakat. Setiap manusia merupakan bagian dari suatu lingkungan hidup yang terdiri atas hubungan individu dengan kelompok dan pola-pola organisasi serta dengan aspek yang ada dalam masyarakat. Lingkungan sosial dapat berbentuk kesatuan-kesatuan sosial, kelompok-kelompok sosial, atau situasi-situasi sosial. Kesatuan-kesatuan sosial dan kelompok-kelompok sosial tersebut masing-masing memiliki aturan-aturan yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam masyarakat ada berbagai kelompok dan kesatuan sosial. Warga masyarakat dapat menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial tersebut. Di satu pihak dia termasuk dalam suatu kesatuan sosial menurut aturan-aturan kekerabatan dan organisasi di tempat tinggalnya.

B. Rumusan Masalah
·        Memahami struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial.
·        Menganalisis faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat.

C. Tujuan Penulisan
            Agar tugas mid.semester dari mata kuliah ini bisa terselesaikan dengan baik. Dan agar kita dapat mengetahui penjelasan tentang struktur sosial dalam fenomena kehidupan.
  
                                                BAB II
          STRUKTUR SOSIAL DALAM FENOMENA KEHIDUPAN
A.Pengertian Struktur Sosial
            Ada beberapa pengertian struktur sosial sebagai berikut.
1.      Kamus Besar Bahasa Indonesia
Struktur sosial ialah konsep perumusan asas-asas hubungan antarindividu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu.
2.      Soerjono Soekanto
Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan secara organisatoris.
3.      Basrowi
Struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Selain mengandung unsur kebudayaan, struktur sosial juga mencakup seluruh prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil.
4.      Peter M. Blau
Struktur sosial ialah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas di dalam berbagai posisi sosial berbeda memengaruhi hubungan di antara mereka (termasuk di dalamnya hubungan konflik).
B.Bentuk-Bentuk Struktur Sosial
            Soerjono Soekanto menyatakan bahwa masyarakat memiliki bentuk-bentuk strukturalnya, seperti kelompok-kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial serta kekuasaan.
1). Kelompok Sosial
Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa sejak dilahirkan manusia mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya. Semuanya itu menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social group dalam kehidupan manusia. Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh memengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong.
            Tidak semua himpunan manusia dapat disebut kelompok sosial. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa kelompok sosial memerlukan beberapa persyaratan tertentu sebagai berikut.
a.      Adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan.
b.      Adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.
c.       Ada faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat. Hal ini dapat timbul karena nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, atau ideologi politik yang sama. Ada juga faktor lain yaitu musuh bersama yang dapat menjadi faktor pengikat atau pemersatu.
d.      Berstruktur, berkaidah, dan memiliki pola perilaku.
e.      Bersistem dan berproses.
Tipe-tipe kelompok sosial dapat ditinjau dari berbagai sudut atau berdasarkan atas berbagai kriteria kelompok sosial pada dasarnya dibedakan sebagai berikut.
a.      Kelompok-kelompok sosial yang teratur
1)      Berdasarkan atas besar kecilnya jumlah anggota kelompok
a)      Kelompok primer (primery group) dan kelompok sekunder (secondary group)
b)      Paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft)
c)      In group dan out group
d)      Kelompok okupasional dan volunter
2)      Berdasarkan atas derajat organisasinya, yaitu kelompok formal (formal group) dan kelompok informal (informal group)
3)      Berdasarkan atas interaksi, yaitu kelompok referensi (reference group) dan kelompok membership (membership group)
b.      Kelompok-kelompok sosial yang tidak teratur
1)      Kerumunan (crowd)
2)      Publik
2).Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
a.Pengertian Kebudayaan
Pada umumnya kebudayaan diartikan hasil seni, keindahan, dan tari-tarian. Akan tetapi, pengertian kebudayaan ternyata sangat luas seperti berikut.
1)      Kamus Besar Bahasa Indonesia
a)      Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
b)      Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
2)      Edward B. Tylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
3)      Koentjaraningrat
Kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
4)      R. Linton
Kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
5)      Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi
Kebudayaan itu adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
6)      Andreas Eppink
Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
b.Kebudayaan dan Peradaban
Disamping istilah kebudayaan terdapat istilah peradaban. Peradaban dalam istilah bahasa Inggris, yaitu civillzation, yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah. Istilah peradaban juga sering dipakai untuk menyebut suatu  kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan masyarakat kota yang maju serta kompleks.
c.Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.
1)      Gagasan (Wujud Ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, atau peraturan yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
            Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan menjadi suatu sistem yang disebut sistem budaya (cultural system). Gagasan-gagasan  itu berfungsi untuk mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada tingkah laku manusia di dalam masyarakat.
            Kebudayaan ideal sebagai adat tata kelakuan atau dalam bentuk jamak disebut adat istiadat. Adat sendiri terdiri atas lapisan-lapisan yang paling abstrak dan luas sampai kepada yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah nilai budaya, diikuti oleh sistem norma-norma sistem hukum dan peraturan-peraturan aktivitas dalam kehidupan.
2)      Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial (social system). Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati serta didokumentasikan. Contohnya, dalam budaya ideal Jawa diketahui bahwa adat mempunyai pandangan keramat terhadap sesuatu hal atau benda maka pada wujud aktivitas dapat dilihat secara nyata pada kebiasaan orang Jawa yang menyediakan sesajen pada tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.
3)      Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Contoh artefak adalah gedung, pesawat, komputer, alat-alat kerja, alat-alat rumah tangga, model pakaian, dan model perhiasan.
            Dalam kehidupan bermasyarakat antara wujud kebudayaan yang satu dengan wujud kebudayaan yang lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur, memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Baik gagasan maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga memengaruhi pula pola-pola perbuatannya dan cara berpikirnya.
d.Unsur-unsur Kebudayaan yang Universal
Menurut C. Kluckhohn, terdapat tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut pada setiap kebudayaan dari semua manusia di manapun berada. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia (Teknologi)
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Misalnya, pakaian (cara menjahit, model, dan cara memakai), perumahan (alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, atau alat-alat transportasi).
2)      Mata Pencarian
Mata pencarian hidup dan sistem-sistem ekonomi yang terdapat dalam suatu masyarakat antara lain pertanian, peternakan, sistem produksi, atau sistem distribusi.
3)      Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan, meliputi sistem kekerabatan, organisasi sosial, organisasi politik, sistem hukum, atau sistem perkawinan. Sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar, seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain, seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
            Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
4)      Bahasa (Lisan maupun Tertulis)
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang dipergunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat) dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
            Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi serta adaptasi sosial. Fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan serta teknologi.
5)      Kesenian (Seni Rupa, Seni Suara, atau Seni Gerak)
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
6)      Sistem Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error). Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan, menjadi pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan, hewan di sekitarnya, pengetahuan tentang manusia (tubuh, sifat, dan tingkah laku) serta pengetahuan tentang ruang dan waktu.
7)      Religi (Sistem Kepercayaan)
Pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangatlah terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan ini, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. Agama dan sistem kepercayaan lainnya sering kali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama dalam bahasa inggris religion, yang berasal dari bahasa latin religare, yang berarti “menambatkan” adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
e.Kebudayaan Khusus (Sub-culture)
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur oleh beberapa hal, di antaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, estetik, agama, pekerjaan, pandangan politik, dan gender.
            Soerjono Soekanto menyebutkan beberapa tipe kebudayaan khusus (sub-culture) yang memengaruhi bentuk kepribadian.
1)      Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan
2)      Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda
3)      Kebudayaan khusus kelas sosial
4)      Kebudayaan khusus atas dasar agama
5)      Kebudayaan berdasarkan profesi
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan, dan keintensifan komunikasi antarbudaya serta tipe pemerintahan yang berkuasa. Cara-cara itu dikelompokkan sebagai berikut.
1)      Monokulturalisme
Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
2)      Leitkultur (Kebudayaan Inti)
Dalam leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam mesyarakat asli.
3)      Meiting Pot
Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
4)      Multikulturalisme
Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.
3).Lembaga Sosial
Istilah lembaga berasal dari kata institution yang menunjuk pada pengertian tentang sesuatu yang telah mapan. Dalam pengertian sosiologi lembaga diartikan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Soerjono Soekanto menggunakan istilah lembaga kemasyarakatan untuk istilah lembaga sosial (social institution). Istilah lembaga kemasyarakatan digunakan karena pengertian lembaga lebih menunjuk pada sesuatu bentuk, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.
            Fungsi lembaga kemasyarakatan, yaitu sebagai berikut.
a.      Pedoman dalam bertingkah laku dalam menghadapi masalah dalam masyarakat terutama menyangkut kebutuhan pokok.
b.      Menjaga keutuhan masyarakat.
c.       Merupakan pedoman sistem pengendalian sosial di masyarakat.
a.Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan
1) Norma-Norma Masyarakat
Hubungan antarmanusia di masyarakat dapat terwujud yang diharapkan karena adanya norma-norma dalam masyarakat. Norma-norma tersebut pada mulanya terbentuk secara tidak sengaja. Akan tetapi, lama-kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Misalnya, dalam proses jual beli. Dahulu seorang perantara tidak perlu mendapat
 bagian dari keuntungan sekaligus ditetapkan dari siapa akan mendapatkan bagian (dari pembeli atau penjual).
     Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong bahkan menekan orang perorangan, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial. Kekuatan mengikat norma-norma yang ada di dalam masyarakat berbeda-beda. Untuk dapat membedakan kekuatan yang mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal beberapa norma sebagai berikut.

a)      Cara (Usage)
Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini memiliki kekuatan yang sangat lemah jika dibandingkan dengan kebiasaan (folksways). Cara (usage) lebih menonjol di dalam hubungan antarindividu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekadar celana dari orang lain yang berinteraksi dengannya atau dinyatakan tidak sopan. Misalnya, orang memiliki cara masing-masing untuk minum pada waktu bertemu. Ada yang minum tanpa mengeluarkan bunyi, ada pula yang mengeluarkan bunyi sebagai tanda rasa kepuasannya menghilangkan kehausan. Cara yang kedua biasanya dianggap sebagai perbuatan tidak sopan. Jika cara tersebut diperlakukan ada kemungkinan orang yang diajak minum bersama akan merasa tersinggung dan mencela cara minum yang demikian.
b)      Kebiasaan (Folksways)
Kebiasaan (folksways) menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Norma ini memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara (usage). Kebiasaan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Sanksi yang diberikan biasanya berupa teguran, sindiran, atau pergunjingan. Misalnya, kebiasaan memberikan hormat pada orang lain yang lebih tua. Jika perbuatan tadi tidak dilakukan akan dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat dan setiap orang akan menyalahkan penyimpangan tersebut.
c)      Tata kelakuan (Mores)
Tata kelakuan (mores) merupakan kebiasaan yang tidak dianggap semata-mata sebagai cara perilaku saja, tetapi diterima sebagai norma-norma pengatur. Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama, atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Tata kelakuan yang mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar, maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggotanya. Tata kelakuan di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Tata kelakuan sangat penting karena alasan-alasan berikut.
(1)   Tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu. Tata kelakuan juga merupakan alat yang memerintahkan dan sekaligus melarang seorang anggota masyarakat melakukan suatu perbuatan. Setiap masyarakat memiliki tata kelakuan masing-masing yang seringkali berbeda satu dengan yang lainnya karena tata kelakuan timbul dari pengalaman masyarakat yang berbeda-beda dari masyarakat-masyarakat yang bersangkutan.
(2)   Tata kelakuan mengidentifikasi individu dengan kelompoknya. Di satu pihak tata kelakuan memaksa orang agar menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata kelakuan kemasyarakatan yang berlaku. Di lain pihak mengusahakan agar masyarakat menerima seseorang karena kesanggupannya untuk menyesuaikan dirinya dengan tata kelakuan yang berlaku.
(3)   Tata kelakuan menjaga solidaritas antaranggota masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai tata kelakuan, misalnya perihal hubungan antara pria dengan wanita yang berlaku bagi semua orang, dengan semua usia, untuk segala golongan masyarakat, dan sebagainya. Tata kelakuan menjaga keutuhan dan kerja sama antara anggota-anggota masyarakat serta mendorong tercapainya integrasi sosial yang kuat.
d)      Adat Istiadat (Custom)
Adat istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Adat istiadat merupakan norma yang tidak tertulis, tetapi memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar terhadap anggota masyarakatnya sehingga anggota masyarakat yang melanggarnya akan menerima sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan. Biasanya orang yang melakukan pelanggaran tersebut dikeluarkan dari masyarakat. Seluruh keturunan, keluarga bahkan seluruh suku dapat tercemar, sampai pelanggar dapat mengembalikan keadaan yang semula. Untuk menghilangkan kecemaran tersebut, terkadang diperlukan suatu upacara adat khusus yang membutuhkan biaya besar sekali.
e)      Hukum (Laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal dan berupa aturan tertulis. Ketentuan sanksi terhadap pelanggar norma ini paling tegas jika dibandingkan dengan norma-norma yang lain.
      Norma-norma tersebut setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization), yaitu suatu proses yang dilalui suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga (institutionalized), jika norma tersebut oleh masyarakat diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai dalam kehidupan sehari-hari.
      Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti sampai pada tahap tersebut, tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi sehingga suatu norma kemasyarakatan menjadi internalized (mendarah daging). Pada taraf perkembangan ini, para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan dengan perilaku yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat.
      Norma dapat dibedakan antara norma atau kaidah-kaidah yang mengatur pribadi manusia dan hubungan antarpribadi. Kaidah-kaidah pribadi mencakup norma agama (kepercayaan) yang bertujuan agar manusia beriman dan norma kesusilaan yang bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih. Kaidah antarpribadi mencakup norma kesopanan yang bertujuan agar manusia bertingkah laku dengan baik di dalam pergaulan hidup dan norma hukum yang bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
2)   Sistem Pengendalian Sosial (Social Control)
Sistem pengendalian sosial sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, khususnya pemerintah beserta aparaturnya. Pengertian pengendalian sosial sebenarnya lebih luas dari pengertian tersebut karena mencakup segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial. Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya atau oleh suatu kelompok terhadap individu. Semua hal tersebut merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau seringkali manusia tidak menyadari.
     Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan.
a)      Pengendalian Sosial Dibedakan Berdasarkan Sifatnya
(1)   Preventif
Pengertian sosial secara preventif merupakan suatu usaha pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan informal maupun pendidikan formal.
(2)   Represif
Pengendalian sosial secara represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. Pengendalian ini berwujud penjatuhan sanksi kepada anggota yang melanggar atau melakukan penyimpangan dari norma yang berlaku.
(3)   Kombinasi Preventif dan Represif
Pengendalian ini menggunakan dua cara, yaitu preventif dan represif. Pada awalnya pengendalian dilakukan secara preventif. Jika pengendalian preventif tidak dipatuhi sehingga terjadi penyimpangan, pengendalian selanjutnya dilakukan secara represif.
b)      Pengendalian Sosial Dibedakan Berdasarkan Caranya
(1)   Persuasif (Tanpa Kekerasan)
Dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan yang tentram cara persuasif mungkin akan lebih efektif daripada paksaan. Hal ini karena di dalam masyarakat yang tenteram sebagian besar kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga bahkan mendarah daging di dalam diri para warga masyarakat. Akan tetapi, bukan berarti paksaan tidak diperlukan karena pasti akan dijumpai warga-warga yang melakukan tindakan-tindakan menyimpang. Terkadang terhadap pelaku menyimpang diperlukan paksaan agar tidak terjadi kegoncangan pada ketenteraman yang telah ada.
(2)   Coercive (Paksaan)
Paksaan lebih sering diperlukan di dalam masyarakat yang berubah karena di dalam keadaan seperti itu pengendalian sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah baru yang menggantikan kaidah-kaidah lama yang telah goyah. Walaupun demikian, cara-cara kekerasan ada pula batasnya dan tidak selalu dapat diterapkan karena biasanya kekerasan atau paksaan secara potensial akan melahirkan reaksi negatif. Reaksi negatif selalu akan mencari kesempatan dan menunggu saat dimana agent of social control berada didalam keadaan lengah. Jika setiap kali paksaan diterapkan, hasilnya bukan pengendalian sosial yang akan melembaga, tetapi cara paksaanlah yang akan mendarah daging serta berakar kuat.
3)   Ciri-ciri umum Lembaga Kemasyarakatan
Beberapa ciri umum lembaga kemasyarakatan menurut Gillin dan Gillin seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto sabagai berikut.
a)      Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
b)      Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri semua lembaga kemasyarakatan.
c)      Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
d)      Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
e)      Lambang biasanya juga merupakan ciri khas lembaga kemasyarakatan.
f)       Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu tradisi tertulis atau yang tidak tertulis.
4).Stratifikasi Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, di masyarakat terdapat kelompok kaya, miskin, pengusaha, buruh, sarjana, atau tukang. Status seseorang, baik yang berupa harta, kedudukan, atau jabatan seringkali menciptakan perbedaan dalam menghargai seseorang. Dalam masyarakat, orang yang memiliki harta berlimpah cenderung lebih dihargai daripada orang yang miskin. Demikian pula orang yang lebih berpendidikan cenderung dihargai lebih daripada yang kurang berpendidikan. Atas dasar itu, kemudian masyarakat dikelompok-kelompokkan secara vertikal atau bertingkat-tingkat sehingga membentuk lapisan-lapisan sosial tertentu dengan kedudukannya masing-masing.
            Stratification berasal dari kata stratum, bentuk jamak dari strata, berarti lapisan. Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Pitirim A. Sorokim seperti dikutip oleh Basrowi mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudan dari stratifikasi sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas lebih rendah di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Stratifikasi sosial selalu ada dalam setiap masyarakat, baik pada masyarakat yang masih sederhana, maupun pada masyarakat modern.
            Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama, atau mungkin juga keturunan yang terhormat. Semakin rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat akan semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakat. Sistem lapisan sosial dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mengejar tujuan bersama.
            Stratifikasi sosial dapat terjadi secara otomatis atau dibentuk secara sengaja untuk tujuan bersama. Stratifikasi sosial yang terjadi secara otomatis karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir, seperti kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, atau sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat. Stratifikasi sosial yang terjadi dengan sengaja, biasanya dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, atau angkatan bersenjata.
            Sistem lapisan sosial dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsur-unsur sabagai berikut.
a.      Distribusi hak-hak istimewa yang objektif, seperti penghasilan, kekayaan, keselamatan (kesehatan), atau wewenang.
b.      Sistem pertanggaan yang diciptakan para warga masyarakat (prestise dan penghargaan).
c.       Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang, atau kekuasaan.
d.      Lambang-lambang kedudukan, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, atau keanggotaan pada suatu organisasi.
e.      Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan.
f.        Solidaritas di antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat, misalnya kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai kesadaran akan kedudukan masing-masing.
a.      Sifat Sistem Lapisan Masyarakat
Terdapat tiga sifat sistem lapisan di dalam suatu masyarakat.
1)   Bersifat Tertutup (Closed Social Stratification)
Sistem lapisan yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Mobilitas tersebut terjadi sangat terbatas hanya pada mobilitas horizontal saja. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota suatu
 lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran. Misalnya, kasta pada masyarakat India (kasta Sudra tidak dapat pindah ke kasta Ksatria), masyarakat feodal (kaum buruh tidak dapat pindah ke posisi juragan/majikan), atau masyarakat yang lapisannya tergantung pada perbedaan-perbedaan rasial (sistem apartheid yang pernah berlaku di Afrika Selatan).
                        Di indonesia sistem lapisan tertutup terjadi dalam batas-batas tertentu yang dapat dijumpai pada masyarakat Hindu Bali. Masyarakat Hindu Bali terbagi dalam empat lapisan, yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Sudra. Tiga lapisan pertama disebut Triwangsa, sedangkan lapisan terakhir disebut Jaba yang merupakan lapisan dengan jumlah warga terbanyak. Keempat lapisan tersebut terbagi lagi dalam lapisan-lapisan khusus. Biasanya orang-orang mengetahui kasta seseorang dari gelar yang disandangnya. Gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis keturunan laki-laki yang sepihak (patrilineal), seperti Ida Bagus (gelar kasta Brahmana), Tjokorda, Dewa, dan Ngahan (gelar kasta Satria), I Gusti dan Gusti (gelar kasta Waisya), serta Pande, Kbon, dan Pasek (gelar kasta Sudra).
                        Dahulu gelar tersebut berhubungan erat dengan pekerjaan orang-orang yang bersangkutan. Walaupun gelar tersebut tidak memisahkan golongan-golongan secara ketat, tetapi sangat penting bagi sopan santun pergaulan. Di samping itu, hukum adat juga menetapkan hak-hak bagi si pemakai gelar, misalnya dalam memakai tanda-tanda, perhiasan-perhiasan, atau pakaian tertentu. Kehidupan sistem kasta di Bali umumnya terlihat jelas dalam hubungan perkawinan. Seorang gadis suatu kasta tertentu umumnya dilarang bersuamikan seseorang dari kasta yang lebih rendah.
2)   Bersifat Terbuka (Open Social Stratification)
Di dalam sistem lapisan yang bersifat terbuka setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan. Bagi mereka yang tidak beruntung akan jatuh ke lapisan di bawahnya. Pada umumnya sistem terbuka memberi perangsang lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat daripada sistem yang tertutup. Misalnya, seorang miskin karena usahanya dapat menjadi kaya atau sebaliknya, seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.
3)   Bersifat Campuran
Merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang dari masyarakat Bali berkasta Ksatria mempunyai kedudukan terhormat di Bali, jika ia pindah ke Jakarta, kemudian menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
b.      Kriteria Lapisan Masyarakat
Ukuran atau kriteria yang umumnya dipakai sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial dalam masyarakat sebagai berikut.
1)      Kekayaan
Kekayaan merupakan dasar yang paling banyak digunakan dalam pelapisan sosial masyarakat. Seseorang memiliki banyak kekayaan akan dimasukkan ke lapisan atas dan yang mempunyai kekayaan sedikit akan dimasukkan ke lapisan bawah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, atau kebiasaanya dalam berbelanja.
2)      Kekuasaan
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang yang besar akan masuk pada lapisan atas dan tidak mempunyai kekuasaan akan masuk lapisan bawah. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
3)      Kehormatan
Orang yang paling disegani dan dihormati akan dimasukkan ke lapisan atas. Biasanya anggota lapisan atas adalah golongan tua, mereka yang pernah berjasa, orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur, atau orang-orang yang memiliki keturunan kebangsawanan atau kehormatan. Hal ini biasanya dijumpai pada masyarakat tradisional. Ukuran kehormatan ini dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan.
4)      Ilmu Pengetahuan
Dasar ini dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan) atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor atau profesor. Akan tetapi, sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, atau ijazah palsu.
c.       Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat
Dalam sosiologi, kedudukan (status) dan peranan (role) merupakan unsur-unsur baku dalam sistem lapisan dan mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial. Sistem sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antarindividu dalam masyarakat dan antarindividu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting karena langgengnya masyarakat tergantung pada keseimbangan kepentingan-kepentingan individu termaksud.
1)      Kedudukan (Status)
Status adalah suatu posisi dalam struktur sosial yang menentukan di mana seseorang menempatkan dirinya dalam suatu komunitas dan bagaimana ia diharapkan bersikap dan berhubungan dengan orang lain.
           Dalam masyarakat terdapat tiga macam kedudukan yang diklasifikasikan berdasarkan cara memperolehnya sebagai berikut.
a)      Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Pada umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan sistem lapisan tertutup, tetapi pada sistem lapisan terbuka pun mungkin ada. Misalnya, kedudukan laki-laki dalam satu keluarga, kedudukannya berbeda dengan kedudukan istri, dan anak-anaknya.
b)       Pada umumnya sang ayah atau suami adalah kepala keluarga batihnya. Untuk menjadi kepala keluarga batih, laki-laki tidak perlu mempunyai darah bangsawan atau menjadi warga suatu kasta tertentu.
c)      Achieved status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak peroleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim atau dokter asalkan memenuhi persyaratan tertentu yang semuanya tergantung pada usaha-usaha dan kemampuan yang bersangkutan untuk menjalaninya.
d)      Assigned status, merupakan kombinasi dari perolehan status karena kelahiran dan melalui usaha-usaha yang disengaja. Status ini diperoleh melalui penghargaan atau pemberian dari pihak lain atas jasa perjuangannya untuk kepentingan atau kebutuhan masyarakat. Contoh assigned status adalah gelar kepahlawanan atau gelar kebangsawanan.
2)      Peranan (Role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Jika seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai denagn kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tidak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan.
           Setiap orang memiliki macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal ini berarti peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Pentingnya peranan karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas tertentu dapat meramalkan perbuatan orang lain. Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku, seperti norma kesopanan menghendaki agar seorang laki-laki jika berjalan bersama seorang wanita harus berada di sebelah luar atau sebelah kanan wanita, ketika di jalan raya yang bertujuan untuk melindungi wanita tersebut.
Peranan mencakup tiga hal berikut.
a)      Peranan, meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
b)      Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c)      Peranan dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Di indonesia terdapat kecenderungan untuk lebih mementingkan kedudukan ketimbang peran. Gejala tersebut terutama disebabkan adanya kecenderungan kuat untuk lebih mementingkan nilai materialisme daripada spiritualisme. Nilai materialisme yakni segala sesuatu diukur dengan adanya atribut-atribut atau ciri-ciri tertentu yang bersifat lahiriah dan di dalam kebanyakan hal bersifat konsumtif serta berhubungan dengan prestise (gengsi), seperti gelar, tempat kediaman mewah, kendaraan, atau pakaian. Hal-hal tersebut memang diperlukan, tetapi bukanlah yang terpenting di dalam pergaulan hidup manusia. Memang perlu diakui bahwa di indonesia peranan juga mendapatkan penghargaan tertentu, tetapi sifatnya belum proporsional, padahal menjalankan peranan berarti melaksanakan hak dan kewajiban secara bertanggung jawab.
            Untuk memahami tentang stratifikasi sosial perlu mengetahui diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial dapat dilihat pada masyarakat multikultural. Keragaman pada masyarakat multikultural di indonesia dapat dikaji berdasarkan kriteria diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial berbeda dengan stratifikasi sosial.
d.      Mobilitas Sosial (Social Mobility)
Gerak sosial atau social mobility adalah suatu gerak dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Mobilitas sosial adalah perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan status dan peran anggotanya. Misalnya, seorang pensiunan pegawai rendahan salah satu departemen beralih pekerjaan menjadi seorang pengusaha dan berhasil dengan gemilang.
     Tipe-tipe mobilitas sosial adalah sebagai berikut.
1)      Gerak Sosial Horizontal
Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dengan adanya gerak sosial yang horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang ataupun suatu objek sosial.
2)      Gerak Sosial Vertikal
Gerak sosial vertikal merupakan perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lain yang tidak sederajat. Mobilitas sosial vertikal ada yang naik (social climbing) dan ada yang turun (social sinking). Gerak sosial vertikal yang naik mempunyai dua bentuk utama, yaitu:
a)      Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi di mana kedudukan tersebut telah ada.
b)      Pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.
Gerak sosial vertikal yang turun mempunyai dua bentuk utama, yaitu:
a)   Turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya.
b)   Turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan.
Beberapa prinsip umum mobilitas vertikal menurut Pitirim A. Sorokin, seperti dikutip Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut.
a)      Hampir tidak ada masyarakat yang sifat sistem lapisannya mutlak tertutup, dimana sama sekali tidak ada mobilitas sosial vertikal.
b)      Betapa pun terbuakanya sistem lapisan dalam suatu masyarakat, tidak mungkin mobilitas sosial vertikal dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, tentunya akan terdapat hambatan-hambatan.
c)      Tidak ada mobilitas sosial vertikal yang secara umum berlaku pada semua masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai ciri-ciri sendiri bagi gerak sosialnya yang vertikal.
d)      Terdapat perbedaan laju mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan pekerjaan.
e)      Dilihat dari sejarah, mobilitas sosial vertikal yang disebabkan faktor-faktor ekonomis, politik, dan pekerjaan tidak ada kecenderungan yang kontinu tentang bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial. Hal ini berlaku bagi negara, lembaga sosial yang besar, dan juga bagi sejarah manusia.
5).Kekuasaan dan Wewenang
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara dari mulai presiden sampai kepala desa, atau bahkan ketua Rukun Tetangga (RT). Semua itu tertuju pada otoritas. Sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai suatu yang baik atau buruk, tetap sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Kekuasaan ada dalam setiap bentuk masyarakat, baik yang bersahaja maupun masyarakat yang kompleks. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai atau dengan kata lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu, dengan rela atau karena terpaksa. Jika kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang, biasanya orang itu dinamakan pemimpin, dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya.
            Kekuasaan sebagai kemampuan untuk memengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya.
            Unsur-unsur kekuasaan adalah sebagai berikut.
a.      Rasa Takut
Perasaan takut terhadap seseorang (yang merupakan penguasa) menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan penguasa (orang yang ditakuti) tadi. Rasa takut merupakan perasaan negatif karena seseorang tunduk kepada orang lain dalam keadaan terpaksa. Orang akan berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang yang ditakutinya agar terhindar dari kesukaran-kesukaran yang akan menimpa dirinya seandainya dia tidak patuh. Rasa takut merupakan gejala universal yang terdapat di mana-mana dan biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat yang mempunyai pemerintahan otoriter.
b.      Rasa Cinta
Rasa cinta menghasilkan perbuatan-perbuatan yang pada umumnya positif. Orang-orang lain bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang berkuasa untuk menyenangkan semua pihak. Artinya, ada titik-titik pertemuan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Rasa cinta biasanya telah mendarah daging (internalized) dalam diri seseorang atau sekelompok orang. Rasa cinta yang efisien seharusnya dimulai dari pihak yang berkuasa. Jika ada suatu reaksi positif dari masyarakat yang dikuasai, kekuasaan akan dapat berjalan dengan baik dan teratur.
c.       Kepercayaan
Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua orang atau lebih yang bersifat asosiatif.
d.      Pemujaan
Sistem kepercayaan mungkin masih dapat disangkal oleh orang-orang lain. Akan tetapi, dalam sistem pemujaan, seseorang atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan mempunyai dasar pemujaan dari orang-orang lain. Akibatnya segala tindakan penguasa dibenarkan atau setidak-tidaknya dianggap benar.

C.Konflik Sosial dalam Masyarakat
1. Faktor-Faktor Penyebab Konflik
a. Perbedaan Individu, meliputi Perbedaan Pendirian dan Perasaan
Setiap manusia merupakan individu yang unik. Setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
b. Perbedaan Kepentingan antara Individu atau Kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Terkadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
            Disini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
c. Perbedaan Latar Belakang Kebudayaan Sehingga Membentuk Pribadi-Pribadi yang Berbeda
Setiap individu, sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
d. Perubahan-Perubahan nilai yang Cepat dan Mendadak dalam Masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi perubahan yang berlangsung cepat atau bahkan mendadak, dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
2. Jenis-Jenis Konflik
Jenis-jenis konflik yang ada di masyarakat, antara lain sebagai berikut.
a.    Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peranan (role)).
b.    Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antarkeluarga atau antargank).
c.    Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir.
d.    Konflik antarsatuan nasional (kampanye, perang saudara).
3. Akibat Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut.
a.    Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b.    Keretakan hubungan antarkelompok yang bertikai.
c.    Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, atau saling curiga.
d.    Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
e.    Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
4. Cara Mengatasi Konflik
Konflik dapat diatasi dengan jalan Akomodasi. Akomodasi adalah usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertikaian atau konflik dalam rangka mencapai kestabilan. Pihak-pihak yang berkonflik, kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan bekerja sama.
            Akomodasi ini terjadi pada orang-orang atau kelompok yang mau tidak mau harus bekerja sama, sekalipun dalam kenyataannya mereka masing-masing masih memiliki paham yang berbeda atau bertentangan. Tanpa akomodasi dan kesediaan berakomodasi, dua pihak yang berselisih paham tidak mungkin  bekerja sama untuk selama-lamanya.

 BAB III
PENUTUP

Ø Kesimpulan
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak Cuma memengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan tindakan, tetapi menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan menusia. Misalnya peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan berusaha, respon terhadap perubahan, sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik.
Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, kelompok yang disegani dapat berupa tokoh-tokoh agama atau orang-orang tertentu yang dianggap sesepuh desa. Mereka dianggap telah banyak berjasa pada usaha pembangunan masyarakat tersebut, misalnya pada masyarakat madura figur kiai umumnya sangat desegani masyarakat setempat dan menjadi tempat bertanya sekaligus menjadi orang yang terpercaya.