PROSES KEBIJKAN PUBLIK
Proses
Dalam rangka memecahkan suatu masalah masalah public menurut Dunn (1994),
antara lain (1) penetapan agenda kebijakan , (2) adopsi kebijakan , (3)
implementasi kebijakan , (4) evaluasi kebijakan. Menurut james Anderson (1979
:23-24), sebagai pakar kebijakan public menetapkan proses kebijakan public
sebagai berikut :
1. Formulasi
masalah
2.
Formulasi kebijakan
3.
Penentuan kebijakan
4.
Imlementasi kebijakan
5. Evaluasi
kebijakan.
Sedangkan
menurut Ag Subarsono (2004;8) mengatakan bahwa proses kebijakan public adalah
serangkaian intelektual yang di lakukan dalam prosese kegiatan ang bersifat
politis. Altivitas olitis tersebut mulai dari penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakn ,implenentasi kebijakn, dan evaluasi
kebijakan.Berdasarkan pendapat tersebut maka proses perumusan kebijakan yaitu
analisis kebijakan pengesahan kebijakan imlementasi kebijakan dan evaluasi
kebijakan.
FORMULASI
KEBIJAKAN
Perumusan kebijakan
publik adalah inti dari kebijakan public karna disini dirumuskan batas-batas
kebijakan itu sendiri. Maka itu, pertama kali harus disadari beberapa hal
hakiki dari kebijakan public.
Pertama, kebijakan
public senantiasa ditunjukkan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan
public untuk meningkatkan kehidupan public itu sendiri. Jadi, core kebijakan public adalah “
Intervensi” kenapa demikian, sederhana saja. Meskipun kebijakan public adalah “
apa yang dipilih untuk di kerjakan dan tidak dikerjakan pemerintah “
sebenarnya, yang menjadi focus adalah, apa yang dikerjakan pemerintah yg bersifat
aktif.
Pemerintah melakukan
tugaspokok manajemeni organisasi negara. Dan, sebagaimana dikatakan guru
manajemen Peter. F. Drucker, For
management has to manage. And managing is not just passive, adaptive behavior,
it is means taking action to make the desired result come to pass (Drucker
1993,11)
Paradigma kegiatan
pemerintah sebenarnya mulai bersifat interventif pada akhir tahun 1930-an
ketika Keynes memperkenalkan kebijakan pemerintah untuk mengatasi economic malaiseyang dialami AS ditahun
1932. Kebijakan Keynes pada intinya adalah bahwa pemerintah harus melakukan
intervensi melalui kebijakan public untuk menjaga kesinambungan kehidupan
bersama, khususnya yeng menjadi focus Keynes dan para pengikutnay dibidang
ekonomi, karna fokusnya adalah intervensi, yang harus menjadi perhatian
kebijakan public adalah kebijakan public mengarah kepada tindakan tindakan yang
dapat dilakukan pada wilayah yang di intervensi.
Kenyataan ini yang
sering menjadi kekeliruan palingdasar dari pembuat kebijakan public, khususnya
berlatarbelakang dunia akademis, yang mengendalikan semua dalam kondisi ideal.
Sebagian besar kebijakan public berada
domain ideal. Yaitu berusaha memecahkan seluruh permasalahan sampai kedetail
dan tidak memberi ruang gerak bagi bias kebijakan, bias implementasi, bias
evaluasi yang secara kontekstualitas memberi ruang pada lembaga public dan
masyarakat untuk masuk memeberikan perang komplementernya. Saya memberi nama
kebijakan public ini sebagai kebijakan
public yang baik tetapi tidak benar. Baik dalam arti memang rumusannya
baik, namun tidak benar karna ia mengendalikan intervensi disegenap hal.
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses
kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan
evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi telah
selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai
tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan
tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2).
menurut Winarno (1989, 53),Formulasi kebijakan sebagai
suatu proses, dapat
dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan
secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan
diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang
dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya.
Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana
keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan
mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui,
mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih.
Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24)
mengatakan bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan kebijakan
merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan
secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya
termasuk pembuatan keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan
negara (publik), Udoji (Wahab ; 2001, 17) merumuskan bahwa
pembuatan kebijakan negara sebagai
“The whole process of articulating and
defining problems, formulating possible solutions into political demands,
channelling those demands into the political systems, seeking sanctions or
legitimation of the preferred course of action, legitimation and
implementation, monitoring and review (feedback)”.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan
aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap
berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan)
dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah
dalam aktivitas yang tidak linear.
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses
menurut Winarno (1989, 53), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan.
Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus
dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh
kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan
yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan
selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan
dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh
seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak
suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka
Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam tahap
perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan
kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
a.
Perumusan masalah kebijakan.
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa,
keadaan dan situasi tertentu dapat menimbulkan satu atau beberapa problem,
tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi
obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun
para pembuat keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan
atau dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa
berubah menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang
sebagai sesuatu masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu
memiliki political will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting
lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh pembuat kebijakan dan mereka
bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi problem kebijakan,
memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan
publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan
adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian membuat
perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut. Kegiatan ini
merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih
dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan
mempermudah dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan.
b.
Penyusunan agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah
diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan
memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama
untuk diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah
ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit dan terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan
beberapa faktor yang dapat menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke
dalam agenda pemerintah, yakni :
·
Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group
equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan
menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi
ketidakseimbangan tersebut.
·
Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam
penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas
pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan
kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskan
dan mengusulkan usaha pemecahannya.
·
Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian besar
dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk memperhatikan
secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke
dalam agenda pemerintah.
·
Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga menarik
perhatian para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam agenda
pemerintah.
·
Masalah-masalah khusus atau isyu-isyu politis yang timbul dalam masyarakat,
sehingga menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai sorotan. Hal
ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga
lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada
masalah atau isyu tersebut.
Sedangkan Jones (1977, 32) mengajukan
suatu pedoman untuk meneliti atau mempelajari tentang syarat-syarat suatu
problem publik dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
·
Dilihat dari peristiwanya, yang meliputi ruang lingkup, persepsi masyarakat,
definisi dan intensitas orang-orang yang dipengaruhi oleh peristiwa tersebut.
·
Organisasi kelompok, yang meliputi luasnya anggota kelompok, struktur kelompok
dan mekanisme kepemimpinan.
·
Cara mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.
·
Proses kebijaksanaan, yang meliputi struktur, kepekaan dan kepemimpinan.
Selanjutnya, setelah problem publik
tersebut dimasukkan ke dalam agenda pemerintah, maka para pembuat keputusan
memprosesnya kedalam fase-fase, yang oleh Jones (ibid) dibagi kedalam 4 (empat)
tahap, yakni : (1) problem definition agenda yaitu hal-hal (problem)
yang memperoleh penelitian dan perumusan secara aktif dan serius dari para
pembuat keputusan ; (2) proposal agenda, yaitu hal-hal (problem) yang
telah mencapai tingkat diusulkan, dimana telah terjadi perubahan fase
merumuskan masalah kedalam fase memecahkan masalah ; (3) bargaining agenda,
yaitu usulan-usulan kebijakan tadi ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara
aktif dan serius ; dan (4) continuing agenda, yaitu
hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus
menerus.
c.
Perumusan usulan kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah,
meliputi :
·
Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap
problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan
yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya baru maka
para pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan
mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif
jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang benar dan jelas pada
setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif.
·
Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing
alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas
pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan
semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan
negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
·
Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif,
sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan
kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki
oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan
alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat
melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka dibutuhkan
kriteria tertentu serta informasi yang relevan.
·
Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang memuaskan
atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan
setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap
alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan
menjadi suatu usulan kebijakan yang telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan
dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu
bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai
alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan
didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan
memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi dari pilihannya.
d.
Pengesahan kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan
kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap
prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized
principles or accepted standards). Landasan utama untuk melakukan
pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat,
ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya
diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining (Andersson;
1966, 80). Persuasion diartikan sebagai “Usaha-usaha untuk meyakinkan
orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang, sehingga
mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri”. Sedangkan Bergaining
diterjemahkan sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai
kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian
tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian
tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi
mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah perjanjian (negotiation),
saling memberi dan menerima (take and give) dan kompromi (compromise).
Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling melengkapi sehingga
penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat memperlancar proses
pengesahan kebijakan.
Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas
beberapa komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal
sehingga membentuk pola sistemik berupa input – proses – output – feedback.
Menurut Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang terdapat dalam proses
formulasi kebijakan adalah :
a.
Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan
disengaja yang selalu dilakukan secara terorganisasi dan berulang (ajeg)
guna membentuk pola-pola tindakan tertentu, sehingga pada akhirnya akan
menciptakan norma-norma bertindak bagi sistem kebijakan. Jika pada tahap awal
tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan dari sistem itu ditetapkan terlebih
dahulu untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan guna mencapai tujuan
tersebut, maka pada giliran berikutnya, ketika sistem telah berjalan, norma
yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan mengubah atau setidaknya
mempengaruhi tujuan sistem.
b.
Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam
proses formulasi kebijakan akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta
menjadi sasaran dari kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor
yang paling dominan dalam tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang
bersifat intern, dalam artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk
menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut,
disebut pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor yang
mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal
sebagai kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi
dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut,
mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya
dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini komitmen para
aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama.
Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena
diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor
mematuhi norma bersama.
c.
Orientasi nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya
berhubungan dengan proses mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang
beraneka ragam kemudian menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan
masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi
nilai, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-aktor yang
berperan dalam formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya
keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through
or balancing interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer),
yakni mampu menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang
didasarkan pada penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna
pencapaian hasil yang maksimal.
Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu
proses yang dilakukan secara ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor)
guna menghasilkan serangkaian tindakan dalam memecahkan problem publik melalui
identifikasi dan analisis alternatif, tidak terlepas dari nilai-nilai yang
mempengaruhi tindakan para aktor dalam proses tersebut. Anderson (1966),
Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994, 21) mengemukakan bahwa nilai-nilai
(ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari para pembuat keputusan dalam proses
formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yakni :
a.
Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik
dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
Seperti umumnya pada paradigma kritis
dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas
politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh
dilepaskan dalam fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan
politik itu dari proses pembuatan kebijakan publik, maka kebijakan yang
dihasilkan akan miskin aspek lapangannya sementara kebijakan publik itu sendiri
tidak pernah steril dari aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses
formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang
sangat ditentukan oleh factor kekuasaan, dimana sumber-sumber kekuasaan itu
berasal dari strata social, birokrasi, akademis, profesionalisme, kekuatan
modal dan lain sebagainya.
b.
Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai
yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction)
yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya.
Pada tataran ini, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para stakeholders lebih
dipengaruhi serta dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga
pada gilirannya, produk-produk kebijakan yang dihasilkan lebih mengakomodasi
kepentingan organisasi mereka ketimbang kepentingan publik secara keseluruhan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu
mengeliminir kecenderungan tersebut.
c.
Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai
pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status
quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya.
Proses formulasi kebijakan dalam konteks
ini lebih dipahami sebagai suatu proses yang terfokus pada aspek emosi manusia,
personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal. Fokus dari pandangan ini
adalah siapa mendapatkan nilai apa, kappa ia mendapatkan nilai tersebut dan
bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.
d.
Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi
pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang
secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini
adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan
lain-lain. Pandangan iniu melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal
mampu merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak
terlihaty tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan mengenali masalah,
bagaimana mereka menggunakan informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka
menentrukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka
mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana informasi diproses dan bagaimana
informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
e.
Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat
menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar
negeri. Selain itu, ideologi juga masih merupakan sarana untuk
merasionalisasikan dan melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan menurut Nigro and Nigro (Islamy;
1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan
adalah :
a.
Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.
Walaupun ada pendekatan formulasi
kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti
administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata,
tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia
nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses
formulasi kebijakan.
b.
Adanya pengaruh kebiasaan lama.
Kebiasaan lama organisasi seperti
kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu
program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan
tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah,
apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
c.
Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh
pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam
proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat
pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d.
Adanya pengaruh dari kelompok luar.
Lingkungan sosial dari para pembuat
keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan
dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya
berada diluar proses formulasi kebijakan.
e.
Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman
pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan atau bahkan
orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak
sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran
bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.
Masalah nilai dalam diskursus analisis
kebijakan publik, merupakan aspek metapolicy karena menyangkut
substansi, perspektif, sikap dan perilaku, baik yang tersembunyi ataupun yang
dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang bertanggung jawab dalam
perumusan kebijakan publik. Masalah nilai menjadi relevan untuk dibahas karena
ada satu anggapan yang mengatakan bahwa idealnya pembuat kebijakan itu
seharusnya memiliki kearifan sebagai seorang filsuf raja, yang mampu membuat
serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya secara adil sehingga dapat
memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Meskipun
demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan keputusan-keputusan kebijakan
tidak mampu memaksimasi ketiga nilai tersebut di atas. Juga, tidak ada bukti
pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang satu lebih penting dari yang
lainnya. Oleh karena itu, maka keputusan-keputusan kebijakan mau tidak mau
haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple values). Kesadaran akan
pentingnya multiple values itu dilandasi oleh pemikiran “ethical
pluralism”, yang dalam teori pengambilan keputusan sering disebut dengan
istilah “multi objective decision making”.
Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa para
pembuat kebijakan idealnya memperhatikan semua dampak, baik positif maupun
negatif dari tindakan mereka, tidak saja bagi para warga unit geopolitik
mereka, tetapi juga warga yang lain, dan bahkan generasi di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, proses pembuatan kebijakan yang bertanggung jawab
ialah proses yang melibatkan interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan,
pemimpin-pemimpin organisasi professional, para administrator dan para
politisi.
DAFTAR
PUSTAKA
Riant Nugroho, Public
Policy, PT Alex Media Komputindo (2009)
Pasolong Harbani, Teori
Administrasi Publik, Penerbit Alfabeta Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar