Pengertian dan Sejarah
Tentang Globalisasi
Secara singkat dalam pengertian yang umum sejarah globalisasi adalah
suatu proses integrasi internasional yang dapat terjadi karena sebuah
pertukaran pandangan dunia, pemikiran, produk, maupun aspek kebudayaan lainnya.
Kemajuan tekhnologi dan infastruktur seperti internet, telekomunikasi,
transportasi dan lainnya. Hal tersebut merupakan sebuah faktor yang paling
utama dalam sebuah globalisasi yang juga memiliki dampak positif dan negatif.
Pengertian globalisasi di atas diperkuat oleh
pernyataan para ahli yang menyatakan bahwa globalisasi selalu berhubungan kuat
dengan sebuah integrasi, kebijakan, ekonomi, lintas wilayah dan internasional,
pertukaran ataupun aliran sebuah ilmu pengetahuan, kebudayaan,
perkembangbiakan, kestabilan, penggunaan kekuasaan dan hubungan. Dengan
demikian para ahli pun menyatakan kalau pengertian Globalisasi tersebut
berbeda-beda untuk setiap situasinya. Menurut Thomas Larsson dalam buku
karyanya yang berjudul The Race to The top real story of globalization:
pengertian dari globalisasi itu sendiri adalah jarak yang semakin memendek,
sebuah proses penyusutan dunia dan hal yang bergerak lebih dekat.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa globalisasi memiliki awal pada era modern,
tapi beberapa pakar globalisasi lainnya melacak globalisasi tersebut jauh
hingga menyentuh kesebuah zaman yang dinamakan zaman penemuan Eropa. Sebagian
pakar lainnya pernah mencatat telah terjadinya sebuah globalisasi pada sekitar
milenium ketiga atau kira-kira sebelum masehi. Sejarah globalisasi
merupakan sebuah istilah yang sudah sering disebut-sebut dan sering digunakan
sejak pertengahan tahun 1980 dan puncak-puncak kepopuleran istilah globalisasi
ini pada tahun 1990.
Etimologi Globalisasi
Secara etimologi atau asal kata, globalisasi berasal dari kata globalize yang
memiliki acuan kepada munculnya sebuah jaringan atau sistem sosial dan ekonomi
yang berskala internasional. Pertama kali istilah globalisasi ini dipergunakan
sebagai bentuk kata benda dalam sebuah karya tulis yang berjuduk Towards New
Education. Kata globalisasi dalam buku tersebut memiliki pandangan sebuah
pengalaman manusia yang menyeluruh dalam bidang pendidikan.
Pada tahun 1980an seorang yang bernama Theodore Levitt telah diakui oleh
masyarakat luas dan pakar-pakar globalisasi bahwa Levitt lah yang telah
mempopulerkan istilah globalisasi tersebut dalam sebuah artikel miliknya yang
berjudul Globalization of Markets. Tapi secara sejarah istilah globalisasi itu
sendiri telah sering disebut-sebut dan digunakan pada tahun 1944. Namun berkat
artikel sorang Levitt, istilah tersebut semakin dikenal banyak orang.
Sejarah Globalisasi
Globalisasi pada zaman dulu atau
dalam istilah lain disebut juga globalisasi kuno dipandang para ahli sebagai
sebuah fase dalam sejarah globalisasi itu sendiri. Globalisasi kuno tersebut
mengacu pada sebuah peristiwa dan sebuah perkembangan globalisasi dari masa
peradaban awal sampai pada tahun sekitar 1600an.
Dalam skema di atas para ahli menyimpulkan bahwa ada setidaknya tiga penyebab
yang telah dipaparkan sebagai sebuah pemicu globalisasi tersebut. Penyebab
pertama adalah saling ketergantungan, regularitas dan kestabilan bagi sebuah
negara untuk dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh negara lainnya.
Penyebab kedua adalah konsep pemikiran Timur yang memiliki arti bahwa
negara-negara dari Barat sudah mengadaptasi dan menerapkan sebuah
prinsip-prinsip yang telah dipelajari dari Timur. Para ahli lebih jauh
menyatakan kalau tanpa adanya sebuah ide tradisional dari Timur, globalisasi
dari Barat tidak akan pernah terjadi sebagaimana mestinya. Penyebab ketiga
adalah, interaksi antarnegara yang memilki jarak belum berskala global dan
hanya masih berada pada seputaran Asia, Timur Tengah, Afrika Utara dan sebagian
Eropa.
Sejarah Globalisasi Awal
Globalisasi awal atau disebut juga globalisasi
modern awal atau istilah lain menyebutkan juga sebagai proto globalisasi yang
mencakup periode sejarah globalisasi antara tahun 1600an sampai 1800an. Konsep
sebuah proto globalisasi diperkenalkan pertama kali oleh seorang sejarawan
Christopher Bayly dan A.G. Hopkins. Istilah tersebut dapat juga diartikan
sebagai sebuah fase peningkatan pertukaran kebudayaan dan juga hubungan
perdagangan. Fase globalisasi tersebut dapat dicirakan dari kebangkitan
imperium maritim Eropa yang terjadi kira-kira pada abad ke 16 dan 17an.
Imperium pertama yang muncul kali itu adalah Spanyol dan Portugal, lalu
kemudian disusul oleh Britania dan Belanda. Seiring kebangkitan imperium
maritim Eropa tersebut maka perkembangan duniapun berkembang lebih jauh lagi
ketika perusahaan chartered company atau perusahaan kerajaan didirikan.
Perusahaan kerajaan tersebut seperti, Vereenigde Oostindische Compagnie yang
didirikan sekitar pada tahun 1600an yang sering juga dianggap sebagai
perusahaan multinasional pertama di dunia yang membuka sahamnya dan British
East India Company yang didirikan pada tahun 1600. Globalisasi modern dan
globalisasi modern awal memiliki perbedaan dalam hal ekspansionisme, tingkat
pertukaran sebuah informasi dan juga cara mereka dalam mengelola perdagangan
pun sangat berbeda pula.
Globalisasi Modern
Abad ke 19 merupakan abad yang
mulai mendekati kepada bentuk yang lebih modern yang disebabkan oleh terjadi
revolusi industri. Industrialisasi tersebut telah memungkinkan standarisasi
hasil produksi barang-barang rumah tangga memakai ekonomi skala dan permintaan
barang yang sangat stabil yang tercipta dari pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat.
Kapal uap pada abad ke 19 sangat hemat sehingga transportasi internasional dan
dibuatnya rel-rel kereta semakin menjadikan transportasi darat semakin lebih murah.
Pada tahun 1820 dan 1850an disebut-sebut sebagai revolusi transportasi. Dengan
demikian pada era itu jumlah negara-negara yang ikut dalam perdagangan nasional
semakin banyak yang mengikuti. Lalu singkatnya pada akhir abad 19 dan awal dari
abad ke 20, hubungan kebudayaan dunia dan ekonomi tumbuh begitu cepatnya dan
dikarenakan terjadinya perang dunia pada tahun sekitar 1910 sampai seterusnya
pertumbuhan tersebut melambat kembali lalu kembali melaju dengan deras pada
tahun 1980an karena adanya kebijakan neoliberal yang dirintis pada tahun
tersebut.
Peranan ICT dalam menghadapi Era Globalisasi
Dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini,
ICT memberikan pengaruh terhadap dunia khususnya bidang pendidikan.
Menurut Rosenberg (2001), ada 5 pergeseran dalam
proses pembelajaran yaitu :
(1) Dari pelatihan ke penampilan.
(2)
Dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja.
(3)
Dari kertas ke “online” atau saluran.
(4)
Fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja.
(5)
Dari waktu siklus ke waktu nyata.
Cyber Teaching/Pengajaran Maya adalah
proses pengajaran yang dilakukan dengan
menggunakan internet. Istilah lainnya adalah E-Learning.
Menurut Rosenberg, E-Learning merupakan
penggunaan internet dalam
penyampaian pembelajaran yang belandaskan tiga kriteria,
yaitu :
(1) Dapat memperbaharui, menyimpan, mendistribusi, dan membagi
informasi.
(2)
Pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui
teknologi internet yang standar.
(3)
Memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran.
ICT
memungkinkan terjadinya individualisasi, akselerasi, pengayaan, perluasan,
efektivitas,
dan produktivitas pembelajaran yang pada waktunya akan
meningkatkan
kualitas pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan.
Pendapat beberapa tokoh mengenai sistem pendidikan pada masa
depan akibat perkembangan ICT :
(1) Bishop G - Pendidikan bersifat
luwes (fleksibel), terbuka, dan dapat diakses oleh
siapapun juga yang memerlukan.
(2) Mason R - Pendidikan akan ditentukan oleh
jaringan informasi yang memungkinkan
berinteraksi dan kolaborasi. Namun,
tetap akan memperlebar jurang antara kaya dan miskin.
(3) Tony Bates -
Teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan
secara bijak untuk pendidikan
dan mempunyai arti yang sangat penting bagi
kesejahteraan ekonomi.
(4) Alisjahbana I - Pendekatan pendidikan dan
pelatihan akan bersifat "saat itu juga (just on time)". Teknik itu
akan bersifat dua arah, kolaboratif
dan inter-disipliner.
(5) Romiszowski & Mason -
Penggunaan “Computer-Based Multim”.
Kesimpulannya,
pendidikan masa mendatang akan lebih bersifat terbuka,
beragam,
multidisipliner, dan kompetitif.
Kecenderungan dunia pendidikan di Indonesia di masa
depan :
(1) Berkembangnya pendidikan terbuka dengan
belajar jarak jauh (Distance Learning).
(2) Perpustakaan dan laboratorium
berubah fungsi menjadi sumber informasi.
(3) Penggunaan perangkat teknologi informasi interaktif,
seperti CD-ROM Multimedia.
Globalisasi dan Strategi Pengembangan Bangsa
DALAM pergaulan antar bangsa, jati
diri bangsa semakin penting artinya, katakanlah sebagai fondasi dari pertahanan
nasional bagi NKRI. Setiap bangsa memiliki jati diri yang jelas dan sangat
wajar apabila mereka berusaha untuk memelihara dan mempertahankannya, bahkan
bersedia untuk berperang. Terlebih di era globalisasi, yang mengusung demokrasi
untuk kepentingan liberalisasi perdagangan, akan semakin menekan core values
negara berkembang. Globalisasi nantinya akan mempertajam kesenjangan antara
bangsa yang siap, dengan bangsa yang tidak siap untuk survive dan berkembang di
era ini.
Baik pihak yang siap, maupun pihak
yang belum siap, semuanya membutuhkan informasi mengenai dua hal, yaitu
pengetahuan atau informasi tentang kondisi pihaknya sendiri (berbangsa dan
bernegara), dan berikutnya pengetahuan tentang dinamika lingkungan strategi
(pergaulan antar bangsa). Ketersediaan informasi di era informasi sekarang ini,
menjadi kebutuhan primer bagi semua pihak, terlebih bagi negara
berkembang seperti NKRI yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, dan berada
di jalan silang dunia.
Normatif, penyedia informasi untuk
penyelenggaraan pemerintahan adalah pihak intelijen nasional dengan semua
jajarannya, yang direkayasa sesuai dengan kebutuhan nasional. “Kenali dirimu,
kenali musuhmu, maka engkau tidak akan celaka” (Sun Tzu, buku Seni Perang).
Nampaknya masih perlu diperhatikan sampai sekarang ini. Pesan tersebut perlu
dipahami dengan baik oleh bangsa Indonesia yang ‘ingin’ dan bertekad untuk
dikenal sebagai NKRI.
Tuntutan
Intelijen
Secara sederhana, intelijen dituntut
untuk menyediakan informasi, data, pengetahuan, yang ‘sempurna’ untuk memenuhi
kebutuhan perencanaan, dan pengambilan keputusan. Secara sederhana pula,
dapat ditegaskan bahwa masukan intelijen yang baik, akan menghasilkan
perencanaan yang baik, dan selanjutnya pengambilan keputusan yang tepat.
Sebaliknya tanpa masukan intelijen yang baik, tidaklah mungkin membuat suatu
rencana atau strategi raya atau strategi keamanan nasional yang memenuhi kriteria
feasible, acceptable, suitable. Sudah banyak contoh yang memperlihatkan pihak
yang lemah mampu memukul pihak yang lebih kuat, oleh karena memiliki intelijen
yang baik.
Belakangan ini, banyak pihak sering
mempertanyakan kinerja lembaga intelijen, yang terkesan tidak optimal, ataukah
tidak maksimal, ataukah tidak memenuhi harapan banyak pihak. Memang benar bahwa
tolak ukur untuk menakar kinerja jajaran intelijen, akan menjadi bahan
perdebatan yang tidak kunjung selesai. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu latar
belakang kepentingan yang berbeda, pengetahuan tentang intelijen yang relatif
terbatas, dan memahami intelijen dari satu school of thought yang spesifik,
misalnya penganut paham Clausewitz yang penganutnya cukup banyak di Nusantara.
Mewujudkan supremasi intelijen di era globalisasi untuk kejayaan NKRI, bukanlah
perkara sesulit membuat roket keangkasa luar. Modal dasarnya adalah kemauan
yang kuat, dan janganlah terlalu ‘Clausewitzian’. Kemauan yang kuat
didasarkan pada kebutuhan yang bersifat mandatory.
Globalisasi
dan Strategi Pembangunan Nasional
Suatu realita yang perlu disadari
oleh semua pihak, bahwa Indonesia tidak sendirian di muka bumi ini, tetapi
justru berada pada posisi strategis dan tidak mungkin menghindari pertemuan
dengan kepentingan-kepentingan dari pihak lain. Situasi tersebut sudah
mengisyaratkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu merumuskan
strategi nasional, paling tidak, ada tujuh aspek terkait dengan
globalisasi, berarti ada tujuh (economic, political, security, environmental,
health, social, cultural).
Spektrum informasi yang sangat
diperlukan NKRI, agar dapat memetik manfaat dari globalisasi. Kebutuhan
tersebut bersifat mutlak, artinya tanpa informasi yang memadai dan akurat, NKRI
pasti akan menghadapi sisi negatif dari globalisasi. Strategi pembangunan
Nasional NKRI mengacu pada konstitusi yang menggariskan bahwa “melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia”. Bukanlah perkara yang mudah bagi NKRI untuk mencapai
strategic objectives seperti yang diamanahkan oleh konstitusi, di era
globalisasi yang berkembang bersamaan dengan era informasi, dikendalikan pula
oleh negara industri dan atau negara maju.
Mereka menguasai teknologi maju,
juga teknologi informasi yang sangat andal, punya modal yang kuat di dukung
pula oleh sistem yang robust (IMF, World Bank, WTO), memampukan mereka
mengendalikan tujuh aspek globalisasi tersebut. Sesungguhnya globalisasi ini
mendatangkan terlalu banyak kebaikan kepada kita sehingga nilai-nilai dan
budaya akan diikuti orang, namun bagi sesebuah negara kecil dan membangun,
fenomena globalisasi ini tidak mustahil akan memusnahkan jati diri dan identiti
masyarakatnya. Penetapan strategi tersebut, membutuhkan sejumlah informasi
terkait, yang harus akurat dan aktual, artinya tidaklah mungkin merumuskan
strategi yang tepat, terarah dan terukur, tanpa dukungan intelijen.
Globalisasi
dan Generasi Muda
Nasionalisme masyarakat Indonesia
dari tahun ke tahun mulai menipis. Bangsa Indonesia saat ini berada dalam
cengkeraman hegemoni adi daya dalam perang ekonomi serta kegiatan intelijen
yang merancang kekacauan, melumpuhkan ketahanan ekonomi serta bantuan yang
mengikat, ideologi dan budaya yang merusak generasi generasi muda. Globalisasi
dan arus kemajuan teknologi menjadi ancaman bagi berkembangnya ideologi dan
pemahaman yang bertentangan dengan ideologi negara.
Ketahanan nasional bukan hanya
bergantung kepada aspek kekuatan militer, namun aspek sosial, politik, budaya
dan ekonomi harus kuat untuk menjadi pendorong ketahanan nasional. Aspek
Sosial, ekonomi, politik, pertahanan menjadi aspek penting yang harus pahami
oleh generasi muda. Trigatra yang meliputi aspek demografi, geografi Indonesia
menjadi pengetahuan dan wawasan akan menjadi banteng nasionalisme. Gerakan
radikalisme kanan dan kiri merupakan sebuah ancaman nyata bagi ideologi negara.
Sikap primordialisme ras menjadi potensi pemicu konflik dan ancaman bagi
keberagaman di Indonesia. Namun, globalisasi dapat dimanfaatkan menjadi sarana
untuk menggali ilmu dan wawasan kebangsaan bagi generasi muda. Globalisasi
harus diimbangi dengan sikap nasionalisme generasi muda. Rasa nasionalisme dan
wawasan kebangsaan akan menjadi banteng pengaruh paham dan ancaman yang yang
menyebar melalui globalisasi dan informasi.
Kesejahteraan
dan benang merah rasa nasionalisme bahwa aku bangga menjadi bagian dari bangsa
Indonesia.
Aliansi (alliance) atau ‘persekutuan’ dapat diartikan sebagai
kumpulan perseorangan, kelompok atau organisasi yang memiliki sumberdaya
(sarana, prasarana, dana, keahlian, akses, pengaruh, informasi) yang bersedia
dan kemudian terlibat aktif mengambil peran atau menjalankan fungsi dan tugas
tertentu dalam suatu rangkaian kegiatan yang terpadu (lihat Topatimasang et al,
2000). Dengan kata lain, aliansi adalah sebuah jaringan kerja (networking)
antar lintas yang memiliki keahlian dan sumberdaya berbeda namun memiliki komitmen
dan agenda yang sejalan.
Dilihat dari kedekatan visi dan fungsi dari masing-masing anggota
aliansi, maka dapat dibedakan ALIANSI STRATEGIS dan ALIANSI TAKTIS.
|
1.
|
Aliansi Strategis menunjuk pada
‘sekutu dekat’ atau ‘lingkar inti’. Mereka tergabung dalam Kelompok Kerja
(Pokja) Garis Depan yang bertugas sebagai penggagas, pemrakarsa, pendiri,
penggerak utama, sekaligus penentu dan pengendali arah kebijakan dari sebuah
aliansi.
|
|
2.
|
Aliansi Taktis menunjuk pada ‘sekutu
jauh’ atau ‘lingkar luar’ yang seringkali tidak terlibat langsung dalam
kegiatan aliansi. Mereka umumnya tergabung dalam Pokja Pendukung (supporting
unit) dan Pokja Basis (ground work) yang bertugas membantu penyediaan sarana,
logistik, data dan kader yang dibutuhkan oleh lingkar inti.
|
Dengan demikian, sebuah aliansi dalam suatu gerakan pemberdayaan
keluarga bisa saja merupakan suatu pelangi warna-warni dari berbagai pihak.
Aliansi dapat terdiri dari lembaga pemerintah, non-pemerintah, partai politik,
anggota profesi, dan para pakar akademisi. Bahkan asosiasi mahasiswa, media
massa dan perusahaan swasta dapat pula menjadi anggota aliansi. Bentuk dan
sifat hubungan antar anggota sekutu semacam ini sangat beragam dan tentunya
memerlukan manajemen dan koordinasi yang tidak sederhana. Pembagian aliansi
menjadi dua poros (Aliansi Strategis dan Aliansi Taktis) dapat membantu untuk
mengidentifikasi posisi seluruh sekutu kedalam beberapa lapis lingkaran
berdasarkan kedekatan visi dan misi yang diusung. Dengan begitu, jaringan
sekutu dapat diklasifikasikan berdasarkan rentangan ‘sekutu dekat’ sampai
‘sekutu jauh’ (lihat Topatimasang et al, 2000).
Aliansi strategis atau lingkar inti jelas memiliki peran sentral
karena berfungsi sebagai penggerak utama seluruh jaringan aliansi. Tetapi
kegiatan aliansi yang efektif sesungguhnya melibatkan dan dijalankan oleh
sejumlah besar orang yang tergabung dalam kelompok garis depan, kelompok
pendukung dan kelompok basis secara sinergis. Sejatinya, sebuah aliansi adalah
jaringan sekutu yang tidak terlalu ‘membebani’ para anggotanya dengan
persyaratan kaku dan ketat.
Jenis-jenis
aliansi
Ø
Aliansi horizontal
Aliansi
horizontal mencakup perusahaan-perusahaan yang bergerak di
bidang
bisnis yang sama. Perusahaan-perusahaan tersebut jarang sekalibergerak di
bidang jasa, tapi saat ada yang demikian, perusahaan
tersebut
biasanya bertujuan untuk mencapai skala tertentu, untuk
menyesuaikan
dengan perubahan atau untuk menangani bidang- bidang
keahlian.
Ø
Aliansi vertikal
Aliansi
vertikal adalah hubungan antara organisasi-organisasi dari
bidang
bisnis yang berbeda. Aliansi ini adalah jenis aliansi yang
umum
ditemukan diantara perusahaan- perusahaan jasa karena bisa
diatur
sebuah kolaborasi yang bisa memberikan solusi lengkap pada
pelanggan.
Dengan sedikit kemungkinan persaingan antar anggota aliansi,
perusahaan-perusahaan tersebut bisa menggabungkan kemampuan
mereka
untuk bersaing dengan organisasi (perusahaan) lain yang lebih
besar dan
lebih luas.
Ø
Aliansi strategis
Aliansi
strategis, secara luas dijelaskan sebagai sebuah perjanjian
kontrak
antara peru- sahaan-perusahaan untuk bekerja-sama dalam
mencapai
satu tujuan tertentu tanpa mempedulikan bentuk hukum atau
organisasi
aliansi tersebut. Definisi ini mencakup teramat banyak
perjanjian
yang berkisar mulai dari persetujuan dengan jabat tangan
sampai ke
merger, dan join-venture
Tugas Aliansi
Dalam wacana pemberdayaan keluarga, sedikitnya ada tiga tugas
utama yang dapat dilakukan oleh sebuah aliansi:
|
1.
|
Menganalisis isyu-isyu strategis yang
berkaitan dengan permasalahan dan peran keluarga dalam konteks global
dan nasional. Isyu-isyu strategis ini
secara berkala dianalisis dan kemudian ditetapkan satu isyu
yang akan
dijadikan rencana aksi. Sedikitnya
ada beberapa karakteristik berkenaan dengan isyu-isyu strategis:
· Isu
tersebut bersifat aktual (sedang menjadi perhatian publik).
· Sejalan
dengan prioritas atau tingkat urgensi kepentingan publik.
· Sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sejalan dengan visi serta agenda perubahan
sosial.
· Mempertimbangkan
kemungkinan keberhasilan. Dapatkah isu tersebut direspon melalui aliansi?
· Isu
tersebut relevan dengan pekerjaan dan misi organisasi yang menjadi anggota
aliansi.
|
|
2
|
Merumuskan grand design dan grand
strategy program-program pemberdayaan keluarga. Parameter yang dapat
digunakan dalam membuat desain dan strategi besar program dapat mengacu
pada prinsip SMART yang secara
harafiah bisa diartikan sebagai CERDAS. SMART merupakan akronim
dari:
· Specific
(khusus dan terfokus).
· Measurable
(terukur).
· Achievable
(dapat dicapai).
· Realistic
(sesuai dengan sumber dan kemampuan yang ada).
· Time-bound
(memiliki batasan waktu yang jelas).
|
|
3.
|
Melakukan advokasi terhadap
kebijakan-kebijakan publik pada tingkat makro. Advokasi dapat dilakukan baik
terhadap kebijakan yang dianggap menunjang maupun menghambat proses
pemberdayaan keluarga.
· Advokasi
adalah upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui berbagai bentuk
komunikasi persuasif.
· Advokasi
berkaitan dengan strategi memenangkan argumen dan mengubah perilaku.
· Advokasi
adalah sebuah proses yang melibatkan seperangkat tindakan politis yang
dilakukan oleh warga negara yang terorganisir untuk mentransformasikan
hubungan-hubungan kekuasaan.
· Tujuan
advokasi adalah untuk mencapai perubahan kebijakan tertentu yang bermanfaat
bagi penduduk yang terlibat dalam proses tersebut.
· Advokasi
yang efektif dilakukan sesuai dengan rencana stategis dan dalam kerangka
waktu yang masuk akal (Suharto, 2004b)
|
Mengacu
pada pelaksanaan tugas aliansi, maka model aliansi pemberdayaan keluarga dapat
digambarkan sebagai berikut:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar