Total Tayangan Halaman

Senin, 03 Oktober 2016

QUALITY MANAGEMENT SYSTEM

Pengertian dan Sejarah Tentang Globalisasi
Secara singkat dalam pengertian yang umum sejarah globalisasi adalah suatu proses integrasi internasional yang dapat terjadi karena sebuah pertukaran pandangan dunia, pemikiran, produk, maupun aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan tekhnologi dan infastruktur seperti internet, telekomunikasi, transportasi dan lainnya. Hal tersebut merupakan sebuah faktor yang paling utama dalam sebuah globalisasi yang juga memiliki dampak positif dan negatif.

Pengertian globalisasi di atas diperkuat oleh pernyataan para ahli yang menyatakan bahwa globalisasi selalu berhubungan kuat dengan sebuah integrasi, kebijakan, ekonomi, lintas wilayah dan internasional, pertukaran ataupun aliran sebuah ilmu pengetahuan, kebudayaan, perkembangbiakan, kestabilan, penggunaan kekuasaan dan hubungan. Dengan demikian para ahli pun menyatakan kalau pengertian Globalisasi tersebut berbeda-beda untuk setiap situasinya. Menurut Thomas Larsson dalam buku karyanya yang berjudul The Race to The top real story of globalization: pengertian dari globalisasi itu sendiri adalah jarak yang semakin memendek, sebuah proses penyusutan dunia dan hal yang bergerak lebih dekat.

Banyak pihak yang mengatakan bahwa globalisasi memiliki awal pada era modern, tapi beberapa pakar globalisasi lainnya melacak globalisasi tersebut jauh hingga menyentuh kesebuah zaman yang dinamakan zaman penemuan Eropa. Sebagian pakar lainnya pernah mencatat telah terjadinya sebuah globalisasi pada sekitar milenium ketiga atau kira-kira sebelum masehi. Sejarah globalisasi merupakan sebuah istilah yang sudah sering disebut-sebut dan sering digunakan sejak pertengahan tahun 1980 dan puncak-puncak kepopuleran istilah globalisasi ini pada tahun 1990.
Etimologi Globalisasi

Secara etimologi atau asal kata, globalisasi berasal dari kata globalize yang memiliki acuan kepada munculnya sebuah jaringan atau sistem sosial dan ekonomi yang berskala internasional. Pertama kali istilah globalisasi ini dipergunakan sebagai bentuk kata benda dalam sebuah karya tulis yang berjuduk Towards New Education. Kata globalisasi dalam buku tersebut memiliki pandangan sebuah pengalaman manusia yang menyeluruh dalam bidang pendidikan.

Pada tahun 1980an seorang yang bernama Theodore Levitt telah diakui oleh masyarakat luas dan pakar-pakar globalisasi bahwa Levitt lah yang telah mempopulerkan istilah globalisasi tersebut dalam sebuah artikel miliknya yang berjudul Globalization of Markets. Tapi secara sejarah istilah globalisasi itu sendiri telah sering disebut-sebut dan digunakan pada tahun 1944. Namun berkat artikel sorang Levitt, istilah tersebut semakin dikenal banyak orang.



Sejarah Globalisasi

Globalisasi pada zaman dulu atau dalam istilah lain disebut juga globalisasi kuno dipandang para ahli sebagai sebuah fase dalam sejarah globalisasi itu sendiri. Globalisasi kuno tersebut mengacu pada sebuah peristiwa dan sebuah perkembangan globalisasi dari masa peradaban awal sampai pada tahun sekitar 1600an.

Dalam skema di atas para ahli menyimpulkan bahwa ada setidaknya tiga penyebab yang telah dipaparkan sebagai sebuah pemicu globalisasi tersebut. Penyebab pertama adalah saling ketergantungan, regularitas dan kestabilan bagi sebuah negara untuk dapat mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh negara lainnya. Penyebab kedua adalah konsep pemikiran Timur yang memiliki arti bahwa negara-negara dari Barat sudah mengadaptasi dan menerapkan sebuah prinsip-prinsip yang telah dipelajari dari Timur. Para ahli lebih jauh menyatakan kalau tanpa adanya sebuah ide tradisional dari Timur, globalisasi dari Barat tidak akan pernah terjadi sebagaimana mestinya. Penyebab ketiga adalah, interaksi antarnegara yang memilki jarak belum berskala global dan hanya masih berada pada seputaran Asia, Timur Tengah, Afrika Utara dan sebagian Eropa.



Sejarah Globalisasi Awal

Globalisasi awal atau disebut juga globalisasi modern awal atau istilah lain menyebutkan juga sebagai proto globalisasi yang mencakup periode sejarah globalisasi antara tahun 1600an sampai 1800an. Konsep sebuah proto globalisasi diperkenalkan pertama kali oleh seorang sejarawan Christopher Bayly dan A.G. Hopkins. Istilah tersebut dapat juga diartikan sebagai sebuah fase peningkatan pertukaran kebudayaan dan juga hubungan perdagangan. Fase globalisasi tersebut dapat dicirakan dari kebangkitan imperium maritim Eropa yang terjadi kira-kira pada abad ke 16 dan 17an. Imperium pertama yang muncul kali itu adalah Spanyol dan Portugal, lalu kemudian disusul oleh Britania dan Belanda. Seiring kebangkitan imperium maritim Eropa tersebut maka perkembangan duniapun berkembang lebih jauh lagi ketika perusahaan chartered company atau perusahaan kerajaan didirikan. Perusahaan kerajaan tersebut seperti, Vereenigde Oostindische Compagnie yang didirikan sekitar pada tahun 1600an yang sering juga dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia yang membuka sahamnya dan British East India Company yang didirikan pada tahun 1600. Globalisasi modern dan globalisasi modern awal memiliki perbedaan dalam hal ekspansionisme, tingkat pertukaran sebuah informasi dan juga cara mereka dalam mengelola perdagangan pun sangat berbeda pula.


Globalisasi Modern

Abad ke 19 merupakan abad yang mulai mendekati kepada bentuk yang lebih modern yang disebabkan oleh terjadi revolusi industri. Industrialisasi tersebut telah memungkinkan standarisasi hasil produksi barang-barang rumah tangga memakai ekonomi skala dan permintaan barang yang sangat stabil yang tercipta dari pertumbuhan penduduk yang sangat cepat.

Kapal uap pada abad ke 19 sangat hemat sehingga transportasi internasional dan dibuatnya rel-rel kereta semakin menjadikan transportasi darat semakin lebih murah. Pada tahun 1820 dan 1850an disebut-sebut sebagai revolusi transportasi. Dengan demikian pada era itu jumlah negara-negara yang ikut dalam perdagangan nasional semakin banyak yang mengikuti. Lalu singkatnya pada akhir abad 19 dan awal dari abad ke 20, hubungan kebudayaan dunia dan ekonomi tumbuh begitu cepatnya dan dikarenakan terjadinya perang dunia pada tahun sekitar 1910 sampai seterusnya pertumbuhan tersebut melambat kembali lalu kembali melaju dengan deras pada tahun 1980an karena adanya kebijakan neoliberal yang dirintis pada tahun tersebut.



Peranan ICT dalam menghadapi Era Globalisasi
Dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, ICT memberikan pengaruh terhadap dunia khususnya bidang pendidikan. Menurut Rosenberg (2001), ada 5 pergeseran dalam
proses pembelajaran yaitu : 
(1) Dari pelatihan ke penampilan.
(2) Dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja.
(3) Dari kertas ke “online” atau saluran.
(4) Fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja.
(5) Dari waktu siklus ke waktu nyata.

Cyber Teaching/Pengajaran Maya adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan
menggunakan internet. Istilah lainnya adalah E-Learning.
Menurut Rosenberg, E-Learning merupakan penggunaan internet dalam
penyampaian pembelajaran yang belandaskan tiga kriteria, yaitu :
(1) Dapat memperbaharui, menyimpan, mendistribusi, dan membagi informasi.

(2) Pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui teknologi internet yang standar.
(3) Memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran.

ICT memungkinkan terjadinya individualisasi, akselerasi, pengayaan, perluasan, 
efektivitas, dan produktivitas pembelajaran yang pada waktunya akan meningkatkan
kualitas pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. 




Pendapat beberapa tokoh mengenai sistem pendidikan pada masa depan akibat perkembangan ICT :
(1) Bishop G - Pendidikan bersifat luwes (fleksibel), terbuka, dan dapat diakses oleh
siapapun juga yang memerlukan.

(2) Mason R - Pendidikan akan ditentukan oleh jaringan informasi yang memungkinkan
berinteraksi dan kolaborasi. Namun, tetap akan memperlebar jurang antara kaya dan miskin.

(3) Tony Bates - Teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan
secara bijak untuk pendidikan dan mempunyai arti yang sangat penting bagi kesejahteraan ekonomi.

(4) Alisjahbana I - Pendekatan pendidikan dan pelatihan akan bersifat "saat itu juga (just on time)". Teknik itu akan bersifat dua arah, kolaboratif dan inter-disipliner.
(5) Romiszowski & Mason - Penggunaan “Computer-Based Multim”.

Kesimpulannya, pendidikan masa mendatang akan lebih bersifat terbuka, beragam, 
multidisipliner, dan kompetitif.

 Kecenderungan dunia pendidikan di Indonesia di masa depan :
 (1) Berkembangnya pendidikan terbuka dengan belajar jarak jauh (Distance Learning). 
(2) Perpustakaan dan laboratorium berubah fungsi menjadi sumber informasi.
(3) Penggunaan perangkat teknologi informasi interaktif, seperti CD-ROM Multimedia.


Globalisasi dan Strategi Pengembangan Bangsa

DALAM pergaulan antar bangsa, jati diri bangsa semakin penting artinya, katakanlah sebagai fondasi dari pertahanan nasional bagi NKRI. Setiap bangsa memiliki jati diri yang jelas dan sangat wajar apabila mereka berusaha untuk memelihara dan mempertahankannya, bahkan bersedia untuk berperang. Terlebih di era globalisasi, yang mengusung demokrasi untuk kepentingan liberalisasi perdagangan, akan semakin menekan core values negara berkembang. Globalisasi nantinya akan mempertajam kesenjangan antara bangsa yang siap, dengan bangsa yang tidak siap untuk survive dan berkembang di era ini. 

Baik pihak yang siap, maupun pihak yang belum siap, semuanya membutuhkan informasi mengenai dua hal, yaitu pengetahuan atau informasi tentang kondisi pihaknya sendiri (berbangsa dan bernegara), dan berikutnya pengetahuan tentang dinamika lingkungan strategi (pergaulan antar bangsa). Ketersediaan informasi di era informasi sekarang ini,  menjadi kebutuhan primer bagi semua pihak, terlebih bagi negara berkembang seperti NKRI yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, dan berada di jalan silang dunia.

Normatif, penyedia informasi untuk penyelenggaraan pemerintahan adalah pihak intelijen nasional dengan semua jajarannya, yang direkayasa sesuai dengan kebutuhan nasional. “Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka engkau tidak akan celaka” (Sun Tzu, buku Seni Perang). Nampaknya masih perlu diperhatikan sampai sekarang ini. Pesan tersebut perlu dipahami dengan baik oleh bangsa Indonesia yang ‘ingin’ dan bertekad untuk dikenal sebagai NKRI.

Tuntutan Intelijen
Secara sederhana, intelijen dituntut untuk menyediakan informasi, data, pengetahuan, yang ‘sempurna’ untuk memenuhi kebutuhan perencanaan, dan pengambilan keputusan.  Secara sederhana pula, dapat ditegaskan bahwa masukan intelijen yang baik, akan menghasilkan perencanaan yang baik, dan selanjutnya pengambilan keputusan yang tepat. Sebaliknya tanpa masukan intelijen yang baik, tidaklah mungkin membuat suatu rencana atau strategi raya atau strategi keamanan nasional yang memenuhi kriteria feasible, acceptable, suitable. Sudah banyak contoh yang memperlihatkan pihak yang lemah mampu memukul pihak yang lebih kuat, oleh karena memiliki intelijen yang baik.

Belakangan ini, banyak pihak sering mempertanyakan kinerja lembaga intelijen, yang terkesan tidak optimal, ataukah tidak maksimal, ataukah tidak memenuhi harapan banyak pihak. Memang benar bahwa tolak ukur untuk menakar kinerja jajaran intelijen, akan menjadi bahan perdebatan yang tidak kunjung selesai. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu latar belakang kepentingan yang berbeda, pengetahuan tentang intelijen yang relatif terbatas, dan memahami intelijen dari satu school of thought yang spesifik, misalnya penganut paham Clausewitz yang penganutnya cukup banyak di Nusantara. Mewujudkan supremasi intelijen di era globalisasi untuk kejayaan NKRI, bukanlah perkara sesulit membuat roket keangkasa luar. Modal dasarnya adalah kemauan yang kuat, dan janganlah terlalu ‘Clausewitzian’.  Kemauan yang kuat didasarkan pada kebutuhan yang bersifat mandatory.

Globalisasi dan Strategi Pembangunan Nasional
Suatu realita yang perlu disadari oleh semua pihak, bahwa Indonesia tidak sendirian di muka bumi ini, tetapi justru berada pada posisi strategis dan tidak mungkin menghindari pertemuan dengan kepentingan-kepentingan dari pihak lain. Situasi tersebut sudah mengisyaratkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu merumuskan strategi nasional,  paling tidak, ada tujuh aspek terkait dengan globalisasi, berarti ada tujuh (economic, political, security, environmental, health, social, cultural). 

Spektrum informasi yang sangat diperlukan NKRI, agar dapat memetik manfaat dari globalisasi. Kebutuhan tersebut bersifat mutlak, artinya tanpa informasi yang memadai dan akurat, NKRI pasti akan menghadapi sisi negatif dari globalisasi. Strategi pembangunan Nasional NKRI mengacu pada konstitusi yang menggariskan bahwa “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.  Bukanlah perkara yang mudah bagi NKRI untuk mencapai strategic objectives seperti yang diamanahkan oleh konstitusi, di era globalisasi yang berkembang bersamaan dengan era informasi, dikendalikan pula oleh negara industri dan atau negara maju.

Mereka menguasai teknologi maju, juga teknologi informasi yang sangat andal, punya modal yang kuat di dukung pula oleh sistem yang robust (IMF, World Bank, WTO), memampukan mereka mengendalikan tujuh aspek globalisasi tersebut. Sesungguhnya globalisasi ini mendatangkan terlalu banyak kebaikan kepada kita sehingga nilai-nilai dan budaya akan diikuti orang, namun bagi sesebuah negara kecil dan membangun, fenomena globalisasi ini tidak mustahil akan memusnahkan jati diri dan identiti masyarakatnya. Penetapan strategi tersebut, membutuhkan sejumlah informasi terkait, yang harus akurat dan aktual, artinya tidaklah mungkin merumuskan strategi yang tepat, terarah dan terukur, tanpa dukungan intelijen.

Globalisasi dan Generasi Muda
Nasionalisme masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun mulai menipis. Bangsa Indonesia saat ini berada dalam cengkeraman hegemoni adi daya dalam perang ekonomi serta kegiatan intelijen yang merancang kekacauan, melumpuhkan ketahanan ekonomi serta bantuan yang mengikat, ideologi dan budaya yang merusak generasi generasi muda. Globalisasi dan arus kemajuan teknologi menjadi ancaman bagi berkembangnya ideologi dan pemahaman yang bertentangan dengan ideologi negara.

Ketahanan nasional bukan hanya bergantung kepada aspek kekuatan militer, namun aspek sosial, politik, budaya dan ekonomi harus kuat untuk menjadi pendorong ketahanan nasional. Aspek Sosial, ekonomi, politik, pertahanan menjadi aspek penting yang harus pahami oleh generasi muda. Trigatra yang meliputi aspek demografi, geografi Indonesia menjadi pengetahuan dan wawasan akan menjadi banteng nasionalisme. Gerakan radikalisme kanan dan kiri merupakan sebuah ancaman nyata bagi ideologi negara. Sikap primordialisme ras menjadi potensi pemicu konflik dan ancaman bagi keberagaman di Indonesia. Namun, globalisasi dapat dimanfaatkan menjadi sarana untuk menggali ilmu dan wawasan kebangsaan bagi generasi muda. Globalisasi harus diimbangi dengan sikap nasionalisme generasi muda. Rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan akan menjadi banteng pengaruh paham dan ancaman yang yang menyebar melalui globalisasi dan informasi.

Kesejahteraan dan benang merah rasa nasionalisme bahwa aku bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia


Aliansi (alliance) atau ‘persekutuan’ dapat diartikan sebagai kumpulan perseorangan, kelompok atau organisasi yang memiliki sumberdaya (sarana, prasarana, dana, keahlian, akses, pengaruh, informasi) yang bersedia dan kemudian terlibat aktif mengambil peran atau menjalankan fungsi dan tugas tertentu dalam suatu rangkaian kegiatan yang terpadu (lihat Topatimasang et al, 2000). Dengan kata lain, aliansi adalah sebuah jaringan kerja (networking) antar lintas yang memiliki keahlian dan sumberdaya berbeda namun memiliki komitmen dan agenda yang sejalan.

Dilihat dari kedekatan visi dan fungsi dari masing-masing anggota aliansi, maka dapat dibedakan ALIANSI STRATEGIS dan ALIANSI TAKTIS. 
1.
Aliansi Strategis menunjuk pada ‘sekutu dekat’ atau ‘lingkar inti’. Mereka tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Garis Depan yang bertugas sebagai penggagas, pemrakarsa, pendiri, penggerak utama, sekaligus penentu dan pengendali arah kebijakan dari sebuah aliansi.
2.
Aliansi Taktis menunjuk pada ‘sekutu jauh’ atau ‘lingkar luar’ yang seringkali tidak terlibat langsung dalam kegiatan aliansi. Mereka umumnya tergabung dalam Pokja Pendukung (supporting unit) dan Pokja Basis (ground work) yang bertugas membantu penyediaan sarana, logistik, data dan kader yang dibutuhkan oleh lingkar inti.

Dengan demikian, sebuah aliansi dalam suatu gerakan pemberdayaan keluarga bisa saja merupakan suatu pelangi warna-warni dari berbagai pihak. Aliansi dapat terdiri dari lembaga pemerintah, non-pemerintah, partai politik, anggota profesi, dan para pakar akademisi. Bahkan asosiasi mahasiswa, media massa dan perusahaan swasta dapat pula menjadi anggota aliansi. Bentuk dan sifat hubungan antar anggota sekutu semacam ini sangat beragam dan tentunya memerlukan manajemen dan koordinasi yang tidak sederhana. Pembagian aliansi menjadi dua poros (Aliansi Strategis dan Aliansi Taktis) dapat membantu untuk mengidentifikasi posisi seluruh sekutu kedalam beberapa lapis lingkaran berdasarkan kedekatan visi dan misi yang diusung. Dengan begitu, jaringan sekutu dapat diklasifikasikan berdasarkan rentangan ‘sekutu dekat’ sampai ‘sekutu jauh’ (lihat Topatimasang et al, 2000). 

Aliansi strategis atau lingkar inti jelas memiliki peran sentral karena berfungsi sebagai penggerak utama seluruh jaringan aliansi. Tetapi kegiatan aliansi yang efektif sesungguhnya melibatkan dan dijalankan oleh sejumlah besar orang yang tergabung dalam kelompok garis depan, kelompok pendukung dan kelompok basis secara sinergis. Sejatinya, sebuah aliansi adalah jaringan sekutu yang tidak terlalu ‘membebani’ para anggotanya dengan persyaratan kaku dan ketat.

Jenis-jenis aliansi
Ø  Aliansi horizontal
Aliansi horizontal mencakup perusahaan-perusahaan yang bergerak di
bidang bisnis yang sama. Perusahaan-perusahaan tersebut jarang sekalibergerak di bidang jasa, tapi saat ada yang demikian, perusahaan
tersebut biasanya bertujuan untuk mencapai skala tertentu, untuk
menyesuaikan dengan perubahan atau untuk menangani bidang- bidang
keahlian.
Ø  Aliansi vertikal
Aliansi vertikal adalah hubungan antara organisasi-organisasi dari
bidang bisnis yang berbeda. Aliansi ini adalah jenis aliansi yang
umum ditemukan diantara perusahaan- perusahaan jasa karena bisa
diatur sebuah kolaborasi yang bisa memberikan solusi lengkap pada
pelanggan. Dengan sedikit kemungkinan persaingan antar anggota aliansi, perusahaan-perusahaan tersebut bisa menggabungkan kemampuan
mereka untuk bersaing dengan organisasi (perusahaan) lain yang lebih
besar dan lebih luas.
Ø  Aliansi strategis
Aliansi strategis, secara luas dijelaskan sebagai sebuah perjanjian
kontrak antara peru- sahaan-perusahaan untuk bekerja-sama dalam
mencapai satu tujuan tertentu tanpa mempedulikan bentuk hukum atau
organisasi aliansi tersebut. Definisi ini mencakup teramat banyak
perjanjian yang berkisar mulai dari persetujuan dengan jabat tangan
sampai ke merger, dan join-venture

Tugas Aliansi

Dalam wacana pemberdayaan keluarga, sedikitnya ada tiga tugas utama yang dapat dilakukan oleh sebuah aliansi:
1.
Menganalisis isyu-isyu strategis yang berkaitan dengan permasalahan dan peran keluarga dalam konteks global
dan nasional. Isyu-isyu strategis ini secara berkala dianalisis dan kemudian ditetapkan  satu isyu yang akan
dijadikan rencana aksi. Sedikitnya ada beberapa karakteristik berkenaan dengan isyu-isyu strategis:
·         Isu tersebut bersifat aktual (sedang menjadi perhatian publik).
·         Sejalan dengan prioritas atau tingkat urgensi kepentingan publik.
·         Sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sejalan dengan visi serta agenda perubahan sosial.
·         Mempertimbangkan kemungkinan keberhasilan. Dapatkah isu tersebut direspon melalui aliansi?
·         Isu tersebut relevan dengan pekerjaan dan misi organisasi yang menjadi anggota aliansi.
2
Merumuskan grand design dan grand strategy program-program pemberdayaan keluarga. Parameter yang dapat digunakan dalam membuat desain dan strategi besar program dapat mengacu
pada prinsip SMART yang secara harafiah bisa diartikan sebagai  CERDAS. SMART merupakan akronim dari: 
·         Specific (khusus dan terfokus).
·         Measurable (terukur).
·         Achievable (dapat dicapai).
·         Realistic (sesuai dengan sumber dan kemampuan yang ada).
·         Time-bound (memiliki batasan waktu yang jelas).
3.
Melakukan advokasi terhadap kebijakan-kebijakan publik pada tingkat makro. Advokasi dapat dilakukan baik terhadap kebijakan yang dianggap menunjang maupun menghambat proses
pemberdayaan keluarga.
·         Advokasi adalah upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui berbagai bentuk komunikasi persuasif.
·         Advokasi berkaitan dengan strategi memenangkan argumen dan mengubah perilaku.
·         Advokasi adalah sebuah proses yang melibatkan seperangkat tindakan politis yang dilakukan oleh warga negara yang terorganisir untuk mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan.
·         Tujuan advokasi adalah untuk mencapai perubahan kebijakan tertentu yang bermanfaat bagi penduduk yang terlibat dalam proses tersebut.
·         Advokasi yang efektif dilakukan sesuai dengan rencana stategis dan dalam kerangka waktu yang masuk akal (Suharto, 2004b)
        













Mengacu pada pelaksanaan tugas aliansi, maka model aliansi pemberdayaan keluarga dapat digambarkan sebagai berikut:

http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_02_files/image002.jpg


Tidak ada komentar:

Posting Komentar